Pengamat Sebut Penyesuaian Subsidi dan Kompensasi Energi Sudah Tepat
Kebijakan ini untuk merespons meningkatnya inflasi global.
Jakarta, FORTUNE – Usulan pemerintah untuk menyesuaikan beban subsidi dan kompensasi di sektor energi dinilai tepat.Kebijakan itu untuk merespons kenaikan inflasi global yang terus terjadi, seiring meningkatnya harga minyak mentah dunia dan perang Rusia-Ukraina.
“Kenaikan harga minyak mentah global mendorong ICP (Indonesian Crude Price), maka ada dua, salah satu akibatnya adalah peningkatan pemasukan dari sektor migas. Tapi, kita juga harus ingat, belanja non-Kementerian/Lembaga, di mana di dalamnya adalah subsidi energi dan kompensasi energi serta listrik, bisa jadi beban bagi APBN,” kata Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho, kepada Fortune Indonesia, Jumat (20/5).
Dengan melihat postur APBN 2022, pemerintah memang perlu meningkatkan anggaran tambahan untuk subsidi dan kompensasi sektor energi. “Karena dua hal (subsidi dan kompensasi) ini yang bisa menjaga energi tetap bisa tersalurkan ke masyarakat. Apalagi, kemarin juga ada tambahan Perlindungan Sosial sebesar Rp18,6 triliun,” ucapnya.
Pemerintah tidak siap hadapi inflasi
Meski demikian, Andry menilai bahwa situasi ini terjadi akibat ketidaksiapan pemerintah menjaga inflasi yang kini mengarah pada status negatif. Pemerintah masih menggunakan subsidi dan kompensasi yang berbasis pada komoditas saat menetapkan APBN 2022, padahal potensi terjadinya kebocoran cukup besar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), 58 persen masyarakat menikmati gas elpiji bersubsidi adalah kelompok masyarakat mampu. Begitu juga solar yang bersubsidi.
“Kondisi keuangan dari PLN jadi memburuk akibat adanya kenaikan ICP, di saat yang bersamaan, dia (PLN) harus menjaga agar tidak ada kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL). Ini juga terjadi di Pertamina, di mana kas operasionalnya cukup jomplang ketika berhadapan dengan kenaikan ICP yang cukup signifikan,” kata Andry.
Pemberian subsidi harus tepat sasaran
Andry berharap, tahun depan pemerintah lebih memperhatikan pemberian subsidi dan kompensasi energi yang tepat sasaran. “Kami berharap, subsidi energi bisa dilakukan secara tertutup. Artinya, subsisi energi ini bisa dikontrol dan targeted pada individu yang membutuhkan,” ujarnya.
Hal ini, kata Andry, harus terus didorong untuk menekan beban APBN dan mengalihkannya kepada anggaran lain yang lebih krusial. “Meskipun, menurut saya masih banyak juga pekerjaan rumah untuk subsidi tertutup yang berbasis individu, terutama masalah ketepatan data penerima subsidi yang masih blur,” ucapnya.
Pemerintah Indonesia harus hati-hati
Andry mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia perlu berhati-hati dalam mengelola masalah data dan anggaran di masa inflasi global terjadi. “Karena, harga-harga akan terus meningkat. Ini yang menurut saya jadi salah satu pekerjaan, jika masalah data sudah bisa teratasi,” katanya.
Indonesia, ujar Andry, tidak akan menginginkan subsidi yang diambil dari APBN diberikan pada mereka yang sebenarnya tidak berhak. “Jadi, pekerjaan pemerintah di pengelolaan sektor energi kini dan di masa mendatang masih sangat banyak,” katanya.
Banggar DPR setuju usulan pemerintah
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan usulan penyesuaian beban subsidi dan kompensasi sektor energi dan mendapatkan persetujuan dari Badan Anggaran (Banggar) DPR.
“Karena pilihannya hanya dua. Kalau ini (subsidi) enggak dinaikkan ya harga BBM dan listrik naik. Kalau BBM dan listrik enggak naik ya ini (subsidi) yang naik,” kata Menkeu, dalam Rapat Kerja Banggar DPR dan Kemenkeu, Kamis (19/5).
Menteri Sri mengatakan bahwa ICP yang digunakan dalam APBN 2022 sebesar US$63 per barel. Namun, Menkeu mengatakan saat ini nilai ICP berada di US$102,5 per barel. Meningkatnya harga minyak dan tidak adanya kebijakan penyesuaian harga menyebabkan beban subsidi dan kompensasi meningkat signifikan.