Seberapa Besar Dampak Tapering Off The Fed bagi Indonesia?
Waspadai gejolak pasar keuangan hingga pelemahan rupiah.
Jakarta, 24 September 2021 – Tapering off yang dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserves (The Fed) akhir 2021 nanti akan menjadi pembicaraan hangat. Kebijakan tersebut lantas mendapat perhatian dari banyak pihak, terutama investor yang khawatir dengan potensi dampak yang ditimbulkan terhadap pasar.
Tapering off sendiri adalah pengurangan stimulus moneter yang dikeluarkan bank sentral saat perekonomian sedang terancam dan membutuhkan banyak suntikan dana likuiditas. Hal ini dilakukan The Fed dengan mengurangi ukuran program pembelian obligasi yang dikenal sebagai pelonggaran kuantitatif (Quantitative Easing/QE).
Indikator tapering off
Pada umumnya, indikator pengukur kapan tapering off dilaksanakan adalah ketika inflasi mengalami keseimbangan, tingkat pengangguran menuju normal, hingga pemulihan tingkat kredit atau pinjaman yang menandakan ekonomi mulai aktif kembali.
Pada Agustus 2021, Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di kisaran 0-0,25 persen dalam rapat Federal Open Market Committee. Namun, Ketua The Fed, Jerome Powell sudah mengisyaratkan mulai mempertimbangkan untuk melakukan tapering off atau pengurangan stimulus besar–besaran di tahun ini. Meskipun demikian, Powell juga memperingatkan bahwa mulainya tapering pembelian asset tidak dapat diinterpretasikan sebagai sinyal segera menyusulnya kenaikan suku bunga.
Awalnya para pengamat ekonomi AS pun memperkirakan kebijakan tapering off kemungkinan akan terjadi paling cepat pada 21–22 September, tapi kini mereka memperkirakan kebijakan ini akan mulai dilakukan pada November atau Desember 2021 karena ketidakpastian yang ditimbulkan virus Covid-19 varian Delta dan masih tingginya tingkat pengangguran di Amerika Serikat.
"Ini membuat The Fed dalam mode 'wait and see' pada rapat perumusan kebijakan mereka di September. Jangka waktu ini bisa saja lebih lama dari yang diperkirakan banyak orang, tergantung dampak varian Delta dan pencapaian vaksinasi," papar Diane Swonk, Kepala Ekonom Grant Thornton LLP, Jumat (24/9).
Indonesia jadi 1 dari 10 negara yang diprediksi terdampak
Tidak dapat dipungkiri, tapering off yang pernah dilakukan The Fed tahun 2013 lalu terbukti memicu taper tantrum, yaitu sebuah keadaan gejolak pasar keuangan ketika The Fed mengetatkan kebijakan moneternya. Investasi asing yang saat itu mendominasi pasar modal Indonesia pun menarik uang mereka dan memutuskan untuk menaruh dana di pasar modal Amerika Serikat karena dianggap lebih menarik.
Efeknya, rupiah yang sempat berada di bawah Rp10 ribu per dolar AS anjlok hingga ke level 12.000 per dolar AS diikuti jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke level 4.200 di akhir 2013 dari sebelumnya yang berada di level 5.200. Efek kebijakan tersebut bahkan berdampak panjang pada tren pelemahan rupiah hingga melewati 14.000 per dolar di 2015.
Bagaimana dengan risiko yang dihadapi Indonesia tahun ini? Dalam riset yang dipublikasikan oleh Nomura Research Institute, sebuah lembaga riset ekonomi terbesar di Jepang, Indonesia masuk ke daftar 10 negara rentan (fragile 10) terdampak bersama Brasil, Kolombia, Chili, Peru, Hongaria, Rumania, Turki, Afrika Selatan, dan Filipina jika tapering off dilakukan. Sebelumnya, Nomura juga memasukkan Indonesia ke dalam daftar 5 negara berkembang rentan selama taper tantrum di 2013 bersama Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki.
Nomura menyebutkan penyebab rentannya 10 negara tersebut adalah kombinasi dari pertumbuhan ekonomi yang lemah, inflasi yang meningkat, dan berkurangnya kekuatan fiskal. Situasi di negara-negara berkembang di mana inflasi lebih tinggi daripada suku bunga juga menjadi sumber kerentanan.
Gubernur BI tetap optimistis
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo cukup optimistis dampak tapering off The Fed tidak akan sebesar taper tantrum pada tahun 2013 baik untuk pasar global, emerging market, bahkan Indonesia. Hal tersebut berdasarkan pada beberapa poin termasuk komunikasi The Fed yang sangat terbuka terkait kerangka kerja dan kebijakan, sehingga Indonesia lebih mudah memahami pola kerja The Fed ke depannya.
Dari sisi internal BI sendiri, telah ada kebijakan yang matang dalam mengelola risiko tapering off baik kepada nilai tukar rupiah, maupun pergerakan arus modal asing. Pertama, The Fed sudah sangat transparan dalam hal komunikasi khususnya prospek ekononomi seperti inflasi dan penggangguran, termasuk terkait rencana tapering off yang akan dilakukan tahun ini.
Kedua, kondisi makro-ekonomi dalam negeri yang juga lebih baik dibandingkan 2013, antara lain dengan cadangan devisa yang cukup tinggi mencapai US$ 137,4 miliar pada Juli 2021. Angka cadangan devisa ini jauh lebih tinggi dibandingkan pada Juni 2013 yang hanya mencapai US$ 98,1 miliar.
"Fed tapering yang akan terjadi, ini dampaknya terhadap global maupun emerging market, Indonesia khususnya, InsyaAllah dampaknya tidak sebesar Fed taper tantrum di tahun 2013," ujar Perry dalam konferensi pers virtual, Kamis (19/8).
Indonesia pernah terpukul pada 2013
Johanna Gani, CEO/Managing Partner Grant Thornton Indonesia mengatakan, tidak dapat dipungkiri dampak tapering off tahun 2013 silam berimbas cukup kuat terhadap perekonomian Indonesia.
Salah satu penyebabnya adalah cukup tingginya arus dana asing yang masuk ke pasar saham Indonesia dari kebijakan Quantitative Easing (QE) setelah krisis keuangan 2008 dan Current Account Deficit (CAD) pada tahun 2013 yang mencapai lebih dari 3 persen dari pertumbuhan ekonomi.
Dampak paling terasa dari taper tantrum 2013, yaitu merosotnya nilai tukar rupiah hingga puncak pelemahan terjadi pada September 2015 di mana pada akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp9.790 per US$ sampai pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp14.730 per US$, yang berarti terjadi pelemahan lebih dari 50 persen, sedangkan IHSG saat itu pun jatuh dari level 5.200 ke level 4.200 di akhir 2013.