Sri Mulyani Was-was Beban Utang Pemerintah Tahun Depan Meningkat
'Cost of fund' berpotensi meningkat karena pelemahan rupiah.
Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mewaspadai peningkatan beban utang pemerintah pada 2023. Sebabnya, tren kenaikan suku bunga dan penguatan nilai tukar dolar berpotensi meningkatkan biaya untuk menarik utang (cost of fund).
Apalagi, tahun depan Bank Indonesia tidak lagi bisa membeli surat berharga negara (SBN) pemerintah lantaran Surat Keputusan Bersama (SKB) dengan Kementerian Keuangan yang berlaku selama pandemi berakhir tahun ini. Padahal, peran bank sentral cukup penting karena menanggung beban bunga utang untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN.
"Dua risiko yang harus kita perhatikan yaitu cost of fund yang meningkat dan exchange rate (kurs rupiah). Kita juga masih mempermulus atau menjaga jatuh temponya utang kita yang rata-rata masih di atas delapan tahun," ujarnya dalam acara outlook perekonomian 2023, Rabu (21/12).
Meski demikian, pemerintah telah menyiapkan sejumlah strategi untuk memastikan pembiayaan lewat utang pada tahun depan tidak membebani APBN, katanya. Caranya adalah dengan mengkalkulasi semua risiko dan potensi yang dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mengurangi penarikan utang.
"Dengan adanya windfall profit, baik revenue pajak dan nonpajak, kami mengakumulasi untuk tahun depan itu minimal [kebutuhan penarikan utang] Rp200 triliun," ujarnya, sembari mengatakan angka tersebut masih lebih rendah dari pembelian SBN oleh BI melalui SKB 3 yang sekitar Rp225 triliun.
Namun, lantaran SKB dengan BI tidak lagi valid, Kemenkeu bakal menggunakan sisa anggaran yang ada tahun ini alih-alih menarik utang baru.
"Saya melakukannya sekarang dengan mengumpulkan SILPA saya, sehingga walaupun tahun depan enggak ada SKB 3 saya punya bantalan pembiayaan," katanya.
Pendalaman pasar keuangan
Strategi selanjutnya adalah meningkatkan pembiayaan yang tidak bergantung pada volatilitas pasar seperti pinjaman yang berasal dari bilateral dan multilateral. "Itu jauh lebih secure kita akan maksimalkan," jelas sang Bendahara Negara.
Pemerintah juga berusaha tetap oportunistik di pasar ketika menerbitkan surat utang. Hal ini telah berhasil dilakukan, misalnya ketika pemerintah menerbitkan obligasi global dengan tingkat suku bunga rendah pada Juli 2022.
"Tahun ini kita mengeluarkan SDG’s Bond yang waktu itu suku bunganya adalah terendah dalam sejarah Indonesia, bahkan di Eropa di bawah 1,5 persen. Itu adalah rendah sekali,...even [dengan] suku bunga ICB yang sekarang sudah di 2,5 persen. That's remarkable," ujarnya.
Cara lainnya adalah melakukan pendalaman pasar dengan menyasar investor ritel yang jumlahnya terus meningkat.
"Banyak masyarakat kita sekarang itu senang investasi di surat berharga negara pemerintah. Interestingly, lebih dari 50 persen perempuan," katanya.