Ekonomi Dunia Melambat, Bank Dunia Ingatkan Risiko Stagflasi
Bank Dunia perkirakan ekonomi RI tumbuh 5 persenan.
Jakarta, FORTUNE – Proyeksi terbaru Bank Dunia menyebutkan perekonomian dunia akan melambat tahun ini akibat sejumlah kemelut, mulai dari pandemi COVID-19 sampai krisis geopolitik Eropa Timur. Lembaga ini bahkan mengingatkan akan ancaman stagflasi, kondisi saat inflasi membubung, namun pertumbuhan ekonomi terkoreksi.
Dalam laporan Global Economic Prospects June 2022, Bank Dunia mengatakan invasi Rusia ke Ukraina semakin memperparah dampak ekonomi dari krisis pandemi COVID-19. Akibatnya, perekonomian ditaksir akan memasuki periode pertumbuhan lemah yang berlarut-larut dengan risiko inflasi tinggi.
Menurut laporan dimaksud, perekonomian global tahun ini hanya tumbuh 2,9 persen, atau melambat dari pertumbuhan 5,7 persen pada 2021. Diperkirakan ekonomi juga hanya tumbuh 3,0 persen pada dua tahun mendatang akibat krisis geopolitik yang mengakibatkan gangguan pada aktivitas, investasi, perdagangan, permintaan, dan penarikan kebijakan fiskal dan moneter
“Perang di Ukraina, karantina wilayah di Cina, gangguan rantai pasokan, dan risiko stagflasi memukul pertumbuhan. Bagi banyak negara, resesi akan sulit dihindari,” kata Presiden Bank Dunia, David Malpass, dalam rilis resmi, dikutip Rabu (8/6). Resesi merupakan pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Menurut laporan Bank Dunia, ekonomi Amerika Serikat (AS) ditaksir hanya tumbuh 2,6 persen tahun ini, Uni Eropa 2,5 persen, Jepang 1,7 persen, Cina 4,3 persen, dan Thailand 2,9 persen. Sedangkan, Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia tumbuh 5,1 persen.
Menurut Malpass, kondisi saat ini sangat mendesak bagi negara-negara dunia untuk menggulirkan kebijakan, seperti mendorong produksi dan menghindari pembatasan perdagangan. Perubahan dalam kebijakan fiskal, moneter, iklim, dan utang diperlukan pula untuk melawan misalokasi modal dan ketidaksetaraan.
Risiko stagflasi
Laporan Bank Dunia turut menyoroti kondisi ekonomi global saat ini dibandingkan stagflasi pada 1970-an. Menurut lembaga itu, situasi saat ini serupa dalam tiga aspek, yakni: kemelut penawaran yang memicu inflasi, prospek melemahnya pertumbuhan, dan kondisi negara berkembang yang rentan akibat penyesuaian kebijakan moneter.
Meski demikian, era saat ini juga cukup baik dalam beberapa kasus, di antaranya mata uang dolar yang kuat, persentase kenaikan harga komoditas lebih kecil, dan neraca lembaga keuangan besar yang terjaga. Itu belum termasuk bank sentral, baik di negara maju maupun berkembang, yang memiliki misi jelas untuk stabilitas harga.
Majalah Fortune Indonesia edisi Januari 2022 sempat membahas soal risiko inflasi. Dalam salah satu artikel, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, berpendapat stagflasi justru bukan menjadi ancaman yang mengkhawatirkan bagi ekonomi RI.
“Jadi, sebenarnya stagflasi menjadi blessing in disguise juga. Karena kalau lihat pengalaman secara historis, kita tidak terlalu terdampak. Sebab, ekspor kita kebanyakan commodity-related,” kata David.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia kuartal pertama tahun ini tumbuh 5,01 persen dalam setahun (year-on-year/yoy). Capaian tersebut positif sebab pada periode sama 2021, ekonomi minus 0,70 persen. Sedangkan, tingkat inflasi tahunan per Mei 2022 mencapai 3,55 persen.