Perekonomian Melaju Cepat, Bank of Korea Kembali Naikkan Suku Bunga
Bank of Korea menjadi yang pertama menyesuaikan suku bunga.
Jakarta, FORTUNE - Bank sentral Korea Selatan (Bank of Korea/BOK) menaikkan tingkat suku bunga acuan untuk kedua kalinya di tengah pandemi COVID-19. Keputusan ini sejalan dengan risiko inflasi serta utang rumah tangga yang melonjak seiring pemulihan ekonomi.
Berdasarkan pengumuman Dewan Kebijakan Moneter Bank of Korea, Kamis (25/11), bank sentral kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,25 basis poin menjadi 1,00 persen dari 0,75 persen pada Agustus 2021. Selama tahun lalu, bank sentral mempertahankan suku bunga acuannya di posisi 0,50 persen, terendah setidaknya sejak 2008.
“Perekonomian Korea telah melanjutkan pemulihan yang baik. Meskipun investasi fasilitas agak melambat karena kendala pasokan global, ekspor terus meningkat dan konsumsi swasta telah menunjukkan peningkatan pesat didukung oleh percepatan vaksinasi dan pelonggaran pembatasan COVID-19,” demikian pernyataan bank sentral Korea.
Kondisi pasar tenaga kerja juga membaik dengan jumlah orang yang dipekerjakan terus meningkat, katanya. Ke depan, perbaikan konsumsi swasta diperkirakan menguat. Ekspor dan investasi juga akan bergerak baik. Pertumbuhan ekonomi pun diproyeksikan sekitar 4 persen pada 2021, dan 3 persen pada 2022.
Bank of Korea ditaksir melanjutkan pengetatan kebijakan moneternya dengan tingkat suku bunga 1,50 persen pada akhir 2022. Gubernur BOK, Lee Ju-yeol, bahkan mengatakan kenaikan suku bunga pada kuartal pertama tahun depan juga mungkin.
"Meskipun keputusan tergantung pada situasi ekonomi, kenaikan suku bunga pada kuartal pertama tidak boleh dikesampingkan," kata Lee dalam konferensi pers, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (26/11).
Bank of Korea telah berada di garis terdepan sebagai bank sentral di dunia yang memperketat stimulus moneternya. Bahkan, pada Agustus 2021, bank sentral ini juga menjadi yang pertama yang memperketat suku bunga di Asia.
Risiko inflasi di depan mata
Keputusan penyesuaian suku bunga tampaknya seiring dengan risiko inflasi. Berdasarkan catatan Bank of Korea, inflasi harga konsumen (IHK) telah meningkat ke posisi rendah 3 persen berkat percepatan kenaikan harga produk minyak bumi dan efek dasar dari penurunan harga layanan publik tahun lalu.
Sedangkan, inflasi inti—tidak termasuk perubahan harga pangan dan energi dari IHK—telah meningkat ke tingkat pertengahan 2 persen. Ada pun ekspektasi publik terhadap inflasi meningkat ke level atas 2 persen.
Bank of Korea memperkirakan, IHK akan berjalan jauh di atas 2 persen, melebihi posisi yang diproyeksikan pada Agustus. Kemudian turun secara bertahap menjadi sekitar 2 persen pada 2022 secara keseluruhan. Inflasi inti diperkirakan meningkat ke level atas 1 persen.
“Dewan akan terus melakukan kebijakan moneter dalam rangka menopang pertumbuhan ekonomi dan menstabilkan IHK pada tingkat sasaran jangka menengah dengan tetap memperhatikan stabilitas keuangan,” katanya. “Dewan akan secara tepat menyesuaikan tingkat kebijakan moneter karena ekonomi diperkirakan tumbuh sehat dan inflasi berjalan di atas target untuk waktu yang cukup lama, meskipun ada ketidakpastian dari virus.”
Utang rumah tangga melonjak, gelembung properti
Namun, tak hanya soal inflasi, keputusan Bank of Korea juga ditengarai akibat melonjaknya utang rumah tangga masyarakat Korea Selatan. Menyitir kembali Reuters, utang rumah tangga pada kuartal ketiga tahun ini tercatat sebesar US$1,55 triliun atau sekitar Rp22.088 triliun (asumsi kurs Rp14.250).
"Dengan kenaikan suku bunga, beban pembayaran utang untuk rumah tangga pasti akan meningkat, yang akan membebani pembiayaan dan konsumsi rumah tangga," kata Cho Yong-gu, analis pendapatan tetap di Shinyong Securities.
Sementara, Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in juga dikabarkan menjadikan masalah gelembung aset (aset bubble) properti sebagai prioritas kebijakannya. Harga rumah di negara ekonomi terbesar keempat di Asia itu terus melonjak meski pemerintah sudah memperkenalkan banyak langkah untul menekannya.
"Bank of Korea telah memperjelas bahwa prioritas utamanya adalah mengendalikan risiko keuangan di tengah melonjaknya utang rumah tangga dan harga rumah. Data terakhir menunjukkan keduanya terus tumbuh kuat," kata Alex Holmes, Asia Economist di Capital Economics kepada BBC.