Potensi Neobank, Miliki Kapitalisasi Besar hingga Waspadai Risiko Baru
95% Transaksi Bank BUKU III dan IV sudah melalui digital
Jakarta, FORTUNE - Potensi Neobank di Indonesia dinilai masih sangat besar. Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc), Rudiantara menyatakan, digitalisasi layanan perbankan adalah keniscayaan dan saat ini bank konvensional sudah mulai beranjak ke model operasi secara digital.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan sekitar 85 persen hingga 95 persen transaksi keuangan di bank BUKU III dan IV sudah dilakukan melalui layanan digital dan di luar kantor bank.
"Digitalisasi ini juga terdorong oleh pandemi dimana terjadi perubahan perilaku masyarakat Indonesia yang mulai meninggalkan aktivitas kontak fisik," kata Rudiantara melalui keterangan resminya di Jakarta (15/10).
Meski diprediksi akan mempunyai kapitalisasi yang besar, neobank juga harus terus mewaspadai risiko baru yang muncul dalam persaingan digital perbankan. Sentimen positif dan negatif dari pasar menurutnya juga harus terus diwaspadai.
Potensi besar kapitalisasi neobank
Rudiantara juga menyoroti munculnya sentimen positif terhadap neobank yang terlihat dari besarnya nilai kapitalisasi neobank di dunia. Misalnya, market cap dari KakaoBank di Korea Selatan mencapai 33.16 triliun won atau setara dengan US$28,3 miliar dengan jumlah pengguna 25 persen dari populasi Korea Selatan.
Di Indonesia, kapitalisasi dari Bank Jago telah mencapai Rp209 triliun, melewati nilai kapitalisasi beberapa bank kelas menengah di Indonesia.
Selain itu, Ia juga memperlihatkan bagaimana fintech di Indonesia cukup unggul dalam investasi teknologi serta penciptaan produk yang inovatif dan hyper-personalization. Penggunaan teknologi AI dan machine learning dalam neobank dapat memberikan tambahan manfaat bagi konsumen, seperti kebutuhan pengaturan keuangan pribadi dan bahkan untuk perilaku hidup sehat.
Tak semua neobank sukses kuasai pasar
Namun, Rudiantara juga mengingatkan bahwa tidak semua neobank di dunia mengalami keberhasilan dalam pasar. Di Australia, neobank bernama Xinja hanya bertahan 3 tahun dan mengembalikan lisensi perbankan pada 2021 setelah gagal mendapatkan modal tambahan.
“Pelajaran yang bisa kita petik, Xinja tidak mampu bersaing dengan bank konvensional karena tidak memiliki program pengajuan pinjaman (lending) dan program yang fokus kepada UMKM. Pada intinya neobank juga harus dapat menghasilkan revenue dan efisiensi biaya,” tutur Rudiantara.
Neobank lain yang juga kurang berhasil adalah N26 yang berasal dari Jerman. Meski mampu melakukan ekspansi di enam negara Eropa, AS, dan Brazil, N26 harus menutup operasinya di Inggris pada 2020. Pasalnya, lisensi yang dimiliki oleh N26 di Eropa tidak dapat digunakan di UK setelah Brexit. Neobank ini juga tidak dapat menarik banyak peminat di UK. Setelah dua tahun beroperasi, hanya ada 418.000 pengguna aktif bulanan.
Manfaat dan risiko baru neobank
Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc), Mirza Adityaswara juga menegaskan bahwa kemunculan neobank membawa berbagai manfaat sekaligus risiko baru. Di satu sisi, neobank memiliki fitur- fitur yang lebih inovatif dan customer centric , seperti pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence), machine learning dan fitur keamanan yang lebih mudah diakses (pembekuan rekening melalui aplikasi).
Namun, ada beberapa potensi resiko dalam tren neobank di masa depan seperti risiko serangan keamanan siber, risiko terhadap kebocoran data pribadi nasabah, risiko kegagalan sistemik yang disebabkan interdependensi infrastruktur digital berbagai layanan finansial.
“Risiko -risiko tersebut sebetulnya merupakan risiko yang sama dialami oleh perusahaan fintech, di mana OJK sudah mengatur platform penyedia jasa keuangan agar memitigasi kemungkinan risiko yang akan hadir. Namun, regulator juga harus dapat menyeimbangkan peran antara mengeluarkan aturan untuk memitigasi risiko baru, tetapi juga memberi kesempatan bagi neobank untuk berinovasi,” ujar Mirza.
Mirza juga menambahkan besarnya potensi pasar untuk neobank di Indonesia. Di mana dengan pemanfaatan teknologi, neobank akan menyasar kalangan underbanked, terutama kelompok usia muda serta masyarakat di wilayah urban.
"Namun pada tahap berikutnya, neobank juga perlu menyasar kalangan unbanked demi mendukung peningkatan inklusi keuangan Indonesia” Kata Mirza.
Dalam hal ini, IFSoc memberikan pandangan terhadap potensi neobank di Indonesia. Salah satunya ialah neobank akan lebih bertanggung jawab dengan diberikan kepercayaan mengatur sistem manajemen dengan internal kontrol secara mandiri.
“Beberapa caranya, antara lain dengan mendorong kepatuhan neobank terhadap peraturan yang berlaku, seperti kepatuhan atas pemanfaatan data kependudukan Dukcapil untuk memitigasi risiko fraud dan membentuk forum kolaborasi untuk memerangi ancaman terhadap cybersecurity, baik di antara para pemain neobank, maupun kolaborasi dengan regulator dan penegak hukum,” tutup Mirza.