3 Risiko Berlanjutnya Burden Sharing dari Kacamata Ekonom
BI akan beli SBN demi pembiayaan APBN 2021-2022.
Jakarta, FORTUNE - Bank Indonesia memutuskan akan kembali membayari Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp439 triliun demi pembiayaan APBN 2021 dan 2022 melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) III guna menangani pandemi Covid-19. Apa itu berarti pemerintah tengah kesulitan mencari akar pembiayaan lain?
Menanggapi itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani membantah. Ia juga menambahkan, pemerintah juga tak kesusahan menyoal penarikan utang dari pasar domestik atau global serta pinjaman bilateral dan multilateral.
Mengutip IDN Times, Rabu (25/8), Sri Mulyani berujar, “Bahkan dalam hal ini sebetulnya pemerintah tetap punya pilihan.”
Sebagai informasi, pemerintah dan BI mulai berbagi beban pada 2020 guna menangani pandemi Covid-19. Pembelian SBN pemerintah oleh BI merupakan salah satu bagian dari langkah tersebut.
Tahun ini BI bakal kembali membeli SBN Rp215 triliun; terdiri dari klaster A (Rp58 triliun) dan klaster B (Rp157 triliun). Sementara pada 2022, SBN yang akan BI membayarkan SBN yang terdiri dari klaster A (Rp40 triliun) dan klaster B (Rp184 triliun).
Kedua klaster mengacu pada tingkat suku bunga Reverse Repo BI yang tenornya capai 3 bulan. Akan tetapi, BI hanya bertanggung jawab atas bunga klaster A, sedangkan bunga klaster B akan ditanggung oleh pemerintah.
1. Burden Sharing sebagai Penambal Defisit APBN
Pertanyaannya, mengapa harus burden sharing? Menyoal itu, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan, tantangan penerbitan surat utang pemerintah pada 2022 akan lebih besar.
“Dengan target penerbitan SBN sebesar Rp990,3 triliun (SBN Neto) di RAPBN 2022, maka risiko tidak semua utang bisa terserap di pasar tentu ada,” katanya kepada Fortune Indonesia melalui pesan tertulis.
Terlebih, imbuhnya, investor akan lebih mencari aset berdenominasi dolar dalam situasi tapering off The Fed. Tapering off adalah pengurangan stimulus moneter di tengah terancamnya perekonomian.
Minat terhadap aset dari negara berkembang pun akan berkurang walaupun suku bunga Surat Utang Negara Tenor 10 tahun diproyeksi meningkat 6,82% pada 2020. Menurut Bhima, pada momen itulah pemerintah akan bergantung dari dukungan BI untuk menyerap SBN di pasar perdana.
“Bisa dikatakan, burden sharing akan menjadi bantalan empuk yang siap kapan pun untuk menambal defisit APBN,” ujarnya lagi.
Pada konferensi pers virtual, Selasa (24/8), Menkeu sempat berkata, keputusan melanjutkan burden sharing juga berhubungan dengan target pemerintah mengurangi defisit APBN agar tak melampaui 3% pada 2023.
Ia mengatakan, “Ini adalah penilaian strategis dari Pak Gubernur (BI). Beliau melihat pemerintah dapat melakukan, karena di satu sisi tantangan pemerintah menurunkan defisit, tapi kondisi Covid-19 tidak berhenti, bahkan meningkat.”
2. Risiko dari Berlanjutnya Burden Sharing
Sayangnya, perpanjangan burden sharing itu memiliki tiga risiko. Pertama, tapering off dari The Fed. “Bank sentral semakin terbatas amunisinya untuk menghadapi tapering off pada 2022,” kata Bhima.
Menurutnya, risiko itu tak dapat diremehkan. Misalnya, saat BI berperan penting menjaga stabilitas kurs dengan membeli SBN di pasar sekunder, sumber daya malah terserap ke pasar primer SBN untuk keperluan burden sharing.
Ia menjelaskan, “Saat ini porsi BI di pasar surat utang tradable mencapai 16,1% per Juli 2021, naik dari 11,7% di 2020. Trennya akan terus naik sebagai cara untuk mengendalikan kurs rupiah.”
Yang kedua, risiko inflasi akibat bertambahnya uang beredar. Seiring dengan pulihnya ekonomi, permintaan mulai naik. Harga barang, khususnya terkait komoditas, juga dapat menambah tekanan dari segi permintaan ataupun ketersediaan. “(Itu) dapat membuat inflasi naik, bahkan di atas 3%,” kata Bhima.
Belum lagi dengan risiko pemanfaatan burden sharing untuk kebutuhan belanja konsumtif, seperti biaya belanja pegawai, belanja barang, atau belanja bayar bunga utang. Ekonom lulusan UGM tersebut menyebut, itu akan mempersulit disiplin fiskal.
“Sebaiknya BI dalam hal ini sangat selektif dalam melakukan burden sharing,” tutupnya.
3. BI: Burden Sharing Tak Akan Ganggu Kapabilitas BI dalam Kebijakan Moneter
Menjawab kekhawatiran ekonom, Gubernur BI, Perry Warjiyo yakin pembelian SBN di pasar perdana tak akan mengganggu kapabilitas BI dalam melaksanakan kebijakan moneter.
Menurutnya, SBN yang BI beli sifatnya tradable dan marketable sehingga dapat digunakan menjadi instrumen operasi moneter. “Jumlahnya terukur, sehingga kami dapat melakukan mandat BI dalam menjaga stabilisasi nilai tukar ataupun inflasi,” katanya, dilansir dari Kantor Berita Antara.
BI juga mengaku sudah memikirkan dampak tapering off The Fed dan efek inflasi yang akan dimulai pada 2023. SKB III pun tak berpengaruh terhadap konsisi keuangan BI, imbuhnya.
Ia memaparkan, “Rasio modal kami tahun lalu, 8,64%. Tahun ini kemungkinan 8,9% dan kemungkinan akan menurun sekitar 5% atau 4%, tapi dari sisi modal itu besar. Jumlah modal BI masih mampu menjaga kesinambungan fiskal keuangan BI.”