Jakarta, FORTUNE - Setelah bertahun-tahun mencatat performa gemilang, pasar barang mewah global diperkirakan melambat untuk pertama kalinya sejak Great Recession 2009. Menurut laporan tahunan Bain & Company, 50 juta konsumen telah berhenti membeli barang-barang mewah seperti tas desainer, syal, dan jam tangan. Penyebabnya, harga yang melambung tanpa peningkatan kualitas.
“Sejak 2019, terjadi kenaikan harga yang signifikan pada barang mewah tanpa disertai peningkatan inovasi, layanan, atau daya tarik yang seharusnya diberikan Merek Mewah,” kata Marie Driscoll, analis ekuitas yang fokus pada ritel mewah. “Tahun ini, hal itu benar-benar terasa bagi konsumen, dan dampaknya sangat nyata.”
Bain melaporkan bahwa hanya sepertiga dari merek mewah yang akan menutup tahun ini dengan pertumbuhan positif, jauh menurun dibandingkan dua pertiga tahun lalu.
Driscoll menekankan bahwa inovasi menjadi kunci bagi merek untuk bertahan. “Kembali ke dasar, buat produk lebih inspiratif, jadikan pengalaman belanja luar biasa,” ujarnya, melansir Fortune.com.
Ia menambahkan, merek-merek harus terus mencari cara baru untuk menarik perhatian konsumen. “Sundae es krim yang luar biasa akan membosankan saat Anda menikmatinya untuk kelima kalinya.”
Ekspektasi Konsumen Meningkat
Para konsumen barang mewah menginginkan produk yang lebih eksklusif dan personal. Namun, mayoritas merek mewah belum mampu memenuhi kebutuhan ini.
“Konsumen barang mewah menginginkan sesuatu yang langka, unik, dibuat khusus, indah, dan secara spesifik milik mereka,” kata Hitha Herzog, analis ritel. Hermès menjadi pengecualian besar dalam tren ini. Birkin bag yang terkenal menciptakan daya tarik eksklusif melalui daftar tunggu panjang dan syarat pembelian yang ketat.
Selain itu, ada pengaruh dari perlambatan barang mewah di Cina. Negeri Tirai Bambu yang sebelumnya menjadi motor utama pertumbuhan barang mewah, kini mengalami penurunan pengeluaran signifikan. LVMH, pemilik Dior dan Louis Vuitton, melaporkan penurunan pendapatan sebesar 3 persen bulan lalu, sebagian besar akibat inflasi yang melemahkan kepercayaan konsumen di Cina.
Bain memperkirakan penurunan sektor barang mewah global sebesar 2 persenpada 2024. Namun, pemulihan bertahap diperkirakan akan dimulai pada akhir 2025, terutama di pasar seperti Cina, Eropa, AS, dan Jepang, yang mendapat manfaat dari nilai tukar mata uang yang menguntungkan.
Merek-merek mewah dihadapkan pada tantangan besar: memenuhi ekspektasi konsumen yang terus berkembang dan mempertahankan daya tarik eksklusivitas. Inovasi, pengalaman belanja yang unik, dan fokus pada personalisasi menjadi kunci agar mereka tetap relevan di pasar yang semakin kompetitif.