Jakarta, FORTUNE – Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) dan Asosiasi Blockchain Indonesia (A-B-I) mengatakan, aset kripto saat ini berpeluang dibebaskan dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (Ppn).
Direktur Eksekutif A-B-I & Aspakrindo, Asih Karnengsih, mengatakan bahwa hal ini dimungkinkan karena Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (UU PPSK) mengkasifikasikan aset kripto sebagai aset keuangan digital.
“Sejalan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 (UU PPN), di mana jasa keuangan merupakan salah satu sektor yang dibebaskan dari pemungutan PPN,” ujarnya dalam keterangan yang diterima Fortune Indonesia, Rabu (17/1).
Menurut Asih, pembebasan tarif pajak ini juga bisa dimanfaatkan sekaligus untuk penegakkan peraturan bagi platform exchanges yang belum terdaftar di Indonesia. “Di mana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022 dengan tarif PPN sebesar 0,22 persen dan PPh sebesar 0,2 persen, sehingga pelanggan dalam negeri akan lebih memilih bertransaksi pada exchanges yang telah terdaftar,” katanya.
Persoalannya, menurut Aspakrindo dan A-B-I, sejak Mei 2022, setiap transaksi kripto di Indonesia dikenakan PPN sebesar 0,11 persen dari nilai transaksi pada exchanges yang terdaftar di Bappebti, ditambah Pajak Pengasilan (PPh) sebesar 0,1 persen. Sementara, exchanges yang tak terdaftar sama sekali tidak dikenakan nilai pajak, sehingga total biaya transaksi aset kripto pada exchanges yang terdaftar cenderung lebih tinggi.
Volume transaksi kripto turun
Penyesuaian pajak yang dikenakan pada transaksi kripto di Indonesia ini dianggap penting, karena besaran pajak ini menyebabkan volume transaksi aset kripto di Indonesia menurun signifikan secara tahunan pada 2023, meski harga Bitcoin mencapai level tertinggi pertama kali sejak April 2022 di level US$44 ribu atau sekitar Rp683 juta per kepingnya.
Data dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menunjukkan nilai transaksi aset kripto pada periode Januari - November 2023 mencapai Rp122 triliun. Angka ini turun drastis jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai Rp306,4 triliun, dan bahkan jauh lebih rendah dari periode puncak pada tahun 2021 yang mencapai Rp859,4 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto sekaligus Anggota Dewan Komisioner OJK, Hasan Fawzi, mengatakan bahwa berbagai faktor kompleks turut berkontribusi pada penurunan ini.
"Penyebabnya karena masa puncaknya sudah terlewati, animo turun, sektor riil saat itu belum bergulir karena pandemi," ujarnya.
Upaya lain
Bappebti pun menyoroti upaya lain dalam mengatasi penurunan volume transaksi aset kripto akibat pemberlakuan pajak aset kripto, dengan berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengimplementasikan equal treatment yang implementatif terkait pemungutan pajak bagi pelanggan yang bertransaksi pada exchange yang belum terdaftar.
Plt. Kepala Bappebti, Kasan, mengungkapkan bahwa hal lain yang bisa diupayakan antara lain adalah pembentukan kelembagaan Perdagangan Fisik Aset Kripto; penambahan layanan yang dapat ditawarkan oleh exchanges seperti staking atau pengembangan produk aset kripto berjangka (futures); evaluasi dan penyempurnaan regulasi terkait aset kripto; termasuk penyederhanaan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk seleksi aset kripto yang dapat diperdagangkan di Indonesia.
"Dengan opsi aset kripto yang lebih bervariasi, diharapkan minat masyarakat dapat kembali meningkat,” katanya.