Jakarta, FORTUNE – Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) ungkap potensi Indonesia sebagai salah satu pemain utama dalam ekonomi digital berbasis Blockchain, seiring penerimaan pajak dari transaksi kripto teru meningkat yakni mencapai Rp979,08 miliar hingga November 2024.
Wakil Ketua Komite Tetap Aset Kripto KADIN, Wan Iqbal, mengatakan bahwa penerimaan pajak kripto yang terus meningkat sejak 2022, menunjukkan tren pertumbuhan yang konsisten sejak pemberlakukan pajak untuk transaksi aset digital tersebut.
“Pajak aset kripto memberikan dasar hukum yang lebih jelas bagi para pelaku industri, sekaligus menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mendukung pertumbuhan ekonomi digital,” ujarnya dalam keterangan yang diterima Fortune Indonesia, Jumat (20/12).
Dengan insentif pajak dan penguatan regulasi, pemerintah dapat memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat basis penerimaan negara demi mendukung pembangunan nasional. Menurutnya, inovasi dan perluasan basis pajak menjadi strategi penting dalam menyesuaikan dengan perkembangan teknologi dan pola transaksi masyarakat.
Adapun, penerimaan pajak kripto hingga November 2024 terbagi dalam dua komponen utama. Pertama, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari transaksi penjualan aset kripto di platform exchanger, yang menyumbang Rp 459,35 miliar. Kedua, Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) dari transaksi pembelian aset kripto di exchanger, yang menyumbang Rp 519,73 miliar.
Penerapan pajak kripto
Lebih dari sekedar pajak dan uoaya meningkatkan pendapatan negara, untuk menciptakan industri yang sehat, menurutya perlu membangun ekosistem yang sehat dan kompetitif. Misalnya, dengan kolaborasi antara pemerintah dan pelaku industri. “Kita perlu menciptakan kebijakan yang tidak hanya menarik investor, tetapi juga melindungi para pelaku pasar kecil. Ini adalah kunci untuk membangun ekosistem kripto yang inklusif dan kompetitif,” katanya.
Perbedaan pandangan tentang aset digital kerap menjadi perdebatan pemerintah dan investor. Pemerintah yang memandang pajak sebagai sumber pendapatan baru, bersebrangan dengan investor yang khawatir kebijakan pajak yang berlebihan dapat menghambat pertumbuhan pasar dan mendorong pelarian modal.
Beberapa negara seperti Singapura, Hong Kong, dan Malaysia menggunakan kebijakan bebas pajak untuk menarik investasi global, sementara negara-negara seperti Jepang dan Thailand menerapkan pajak progresif untuk redistribusi kekayaan.
Di sisi lain, India menggunakan pajak tetap untuk efisiensi administratif; dan Korea Selatan mengambil pendekatan transisi dengan menunda penerapan pajak untuk mengamati tren global.
Sementara, Indonesia menerapkan pajak berbasis transaksi untuk transparansi pasar. Pajak kripto di Indonesia mencerminkan tantangan dan peluang dalam mengelola pasar aset digital yang terus berkembang. Kebijakan yang hanya fokus pada penerimaan pajak jangka pendek tanpa mendukung pertumbuhan pasar dapat menghambat daya saing jangka panjang.