Jakarta, FORTUNE - Setelah beroperasi hampir enam dekade, emiten tekstil PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex dinyatakan bangkrut. Bagaimana nasib status pencatatan dan investor publiknya?
Dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Semarang, Sritex telah resmi Pailit per 21 Oktober 2024. Itu karena kelalaian perseroan dan anak-anak usahanya dalam memenuhi kewajiban pembayaran kepada pemohon, PT Indo Bharat Rayon, mengacu pada Putusan Homologasi (Pengesahan Rencana Perdamaian) per 25 Januari 2022.
Tiga anak usaha Sritex yang juga dinyatakan gulung tikar adalah PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya.
Jauh sebelum dinyatakan pailit, Sritex termasuk salah satu perusahaan tekstil raksasa di Indonesia.
Namun, beberapa tahun belakangan ini, Sritex mengalami kesulitan. Sejak 2021, Sritex terus mencatatkan kerugian bersih. Baik secara tahunan maupun kuartalan. Secara berurutan, rugi bersih Sritex mencapai US$1,08 miliar (2021); US$395,56 juta (2022); dan US$174,84 juta (2023). Data terbaru, per kuartal II 2024, Sritex membukukan rugi bersih sebesar US$10,94 juta.
Saham SRIL pun sudah disuspensi oleh BEI sejak 18 Mei 2021 akibat menunda pembayaran pokok dan bunga medium term note (MTN) tahap III 2018 yang ke-6. Penangguhan perdagangan berlaku hingga 18 Mei 2023. Ultimatum BEI tentang potensi delisting SRIL pun digaungkan berkali-kali.
Pada Kamis (24/10) siang, BEI sudah dimintai keterangan terkait status pencatatan SRIL di bursa setelah resmi dinyatakan pailit dan nasib para investor publik perseroan, tetapi belum kunjung menjawab hingga berita ini dipublikasikan.
Bila mengacu pada Peraturan Nomor I-N, terdapat beberapa kriteria forced delisting karena keputusan bursa, yakni:
- Emiten mengalami suatu kondisi atau peristiwa yang signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha Perusahaan Tercatat, baik secara finansial atau secara hukum, dan Perusahaan Tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai;
- Emiten tidak memenuhi persyaratan pencatatan Efek di Bursa, dan/atau;
- Saham emiten telah mengalami Suspensi Efek, baik di Pasar Reguler dan Pasar Tunai, dan/atau di seluruh Pasar, paling kurang selama 24 bulan terakhir.
SRIL setidaknya sudah memenuhi dua dari tiga kriteria tersebut.
Rekam jejak Sritex
Sritex sendiri didirikan oleh H.M. Lukminto sebagai perusahaan perdagangan tradisional di Pasar Klewer, Solo pada 1966. Dua tahun setelah itu, Sritex membuka pabrik cetak pertama dengan hasil produksi kain putih dan berwarna di Solo. Per 1978, Sritex terdaftar sebagai perseroan terbatas di Kementerian Perdagangan.
Selepas itu, Sritex mendirikan pabrik tenun pertamanya pada 1982. Perluasan kapasitas produksi berlanjut melalui ekspansi pabrik dengan empat lini produksi (pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan busana) dalam satu atap, satu dekade berikutnya.
Bisnis Sritex bahkan mencapai pasar internasional pada 1994, ketika perseroan memproduksi seragam militer untuk NATO dan tentara Jerman.
Ketika terjadi Krisis Moneter pada 1998 pun, Sritex berhasil bertahan. Bahkan, pada 2001, pertumbuhannya naik 8 kali lipat jika dibandingkan pertama kali perseroan diintegrasikan pada 1992.
Perusahaan ini resmi mencatatkan saham di Bursa Efek Indoneia pada 2013. Setahun setelahnya, Iwan S. Lukminto mendapat penghargaan Businessman of the Year Forbes Indonesia dan EY Entrepeneur of the Year 2014 dari EY.