Ini Penyebab Harga Bitcoin Masih Stagnan Pasca Halving Day
Keraguan trader dan investor Bitcoin pun masih berlanjut.
Fortune Recap
- Bitcoin mengalami tekanan dan sentimen negatif setelah Halving Day pada 20 April lalu.
- Faktor penyebab kinerja negatif termasuk antisipasi laporan pendapatan perusahaan teknologi AS dan konflik Israel-Iran.
- Halving Bitcoin kali ini diprediksi berbeda dari sebelumnya karena lonjakan harga yang terkompresi dan penurunan imbalan penambangan Bitcoin.
Jakarta, FORTUNE – Halving Day Bitcoin sudah terjadi sejak 20 April lalu, namun harganya masih dalam tekanan dan sentimen negatif. Padahal dalam tempo singkat, harga Bitcoin sempat melesat sampai US$73.680 atau Rp1,19 miliar (kurs Rp16.205,84 per dolar AS) per kepingnya.
Sejak pencapaian ini turun cepat ke level terendah di angka US$59.630 atau Rp966,48 juta, keraguan di kalangan trader dan investor pun muncul terkait arah pasar selanjutnya. Hal ini makin kuat setelah halving Bitcoin terjadi, namun tidak menyebabkan perubahan signifikan.
Trader Tokocrypto, Fyqieh Fachrur, mengungkapkan beberapa faktor yang jadi penyebab terjadinya kinerja negatif, termasuk antisipasi laporan pendapatan kuartal perusahaan teknologi di Amerika Serikat sampai konflik Israel-Iran.
“Dapat dikaitkan dengan ketakutan akan koreksi pasar saham AS, meningkatnya krisis di Timur Tengah, dan berkurangnya kepercayaan terhadap perekonomian Cina,” ujarnya dalam keterangan resmi, kamis (25/4).
Selain itu, tingkat pendanaan yang berubah menjadi negatif untuk pertama kalinya tahun ini, tepat sebelum peristiwa halving baru-baru ini. “Tingkat pendanaan negatif ini menunjukkan bahwa sentimen pasar telah berubah ke arah bearish ketika posisi short lebih besar daripada posisi long," katanya.
Alasan utama
Fyqieh mengungkapkan, alasan utama halving Bitcoin periode kali ini belum menyebabkan lonjakan harga yang tinggi adalah karena The Fed atau Federal Reserve AS belum memberikan sinyal kuat menurunkan suku bunga.
Stagnansi harga Bitcoin setelah halving bisa dianggap sebagai fenomena yang wajar. “Bagi yang masih ragu atau tidak yakin dengan arah pergerakan harga Bitcoin, bisa memilih menggunakan teknik Dollar Cost Averaging (DCA), mengingat ketidakpastian di pasar akhir-akhir ini yang bisa saja Bitcoin berpotensi bullish atau bearish," ujar Fyqieh.
Menengok sejarah, halving pada tahun 2012 menandai awal meroketnya kenaikan Bitcoin hingga 92 kali lipat pasca-halving. Peristiwa halving berikutnya–tahun 2016 dan 2020–menunjukkan peningkatan yang signifikan masing-masing sebesar 30 kali dan 8 kali.
Siklus berbeda
Mempertimbangkan berbagai dinamika yang terjadi tersebut, Fyqieh memperkirakan siklus halving Bitcoin (BTC) kali ini akan berbeda dari peristiwa halving yang sebelumnya sudah terjadi tiga kali.
“Karena BTC telah mengalami lonjakan yang cukup besar, dan bahkan mencapai rekor tertinggi baru sebelum halving itu sendiri. Oleh karena itu, seluruh siklus harga yang biasanya mengelilingi peristiwa ini tampaknya menjadi lebih terkompresi,” ujarnya.
Halving kali ini mengakibatkan penurunan imbalan penambangan Bitcoin sebesar 50 persen, dari 6,25 BTC menjadi 3,125 BTC. Akibatnya, jumlah Bitcoin yang beredar semakin langka, sehingga menyebabkan lonjakan permintaan di kalangan investor, terutama karena persediaan Bitcoin terbatas, dengan jumlah maksimal 21 juta koin yang beredar selamanya.
Fyqieh memperkirakan harga maksimum Bitcoin yang masih memiliki peluang untuk dicapai oleh Bitcoin hingga akhir tahun ini adalah sekitar US$100.000 atau sekitar Rp 1,62 miliar.
Namun, pencapaian ini juga bergantung pada sentimen pasar serta potensi permintaan besar dari institusi. “Banyak yang mengharapkan kenaikan harga yang signifikan setelah halving, padahal efek dari halving ini sebenarnya dirasakan dalam 2-4 bulan setelahnya,” katanya.