MARKET

Prospek IHSG di Tengah Risiko Ketidakpastian akibat Omicron

IHSG masih akan ditutup lebih baik daripada tahun lalu.

Prospek IHSG di Tengah Risiko Ketidakpastian akibat OmicronKaryawan melintas di dekat layar yang menampilkan pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (8/10/2021). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.
29 November 2021

Indeks harga saham gabungan (IHSG) pada perdagangan Senin (29/11) ditutup menguat setelah melemah pada akhir pekan lalu. Meski menguat, sejumlah analis mengatakan, pasar saham dalam negeri masih akan diselimuti oleh ketidakpastian terutama yang terhangat kini dari varian baru Covid-19, Omicron.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), pada awal pekan ini, bursa saham ditutup menguat 0,71 persen ke posisi 6.608,29. IHSG sempat menembus level terbawah pada 6.497,03 meski kemudian kembali melaju.

Menurut data BEI, pada perdagangan Jumat (26/11), IHSG ditutup melemah 2,36 persen menjadi 6.561,55. Kapitalisasi pasar bursa saham pun menurun pada pekan lalu sebesar 1,48 persen menjadi Rp8.123,09 triliun dari sebelumnya Rp8.245,54 triliun.

Mengutip CNN, bursa saham sejumlah negara pada akhir pekan lalu juga terkoreksi. Indeks Hang Seng Hong Kong turun 2,7 persen. Sedangkan, Nikkei 225 dari Jepang juga menurun 2,5 persen.

Begitu pula pasar saham Eropa dengan indeks utama seperti Prancis dan Jerman masing-masing menurun antara 3 sampai 4 persen. Sementara pasar saham di Amerika Serikat (AS) juga sama: indeks Dow turun sekitar 2,5 persen, sedangkan S&P 500 dan Nasdaq turun hampir 2 persen.

Kondisi tersebut terjadi di tengah pengumuman varian baru COVID-19 oleh pemerintah Afrika Selatan. Melansir Fortune.com, varian itu diketahui berkode B.1.1.529 dengan nama Omicron. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memasukkan varian itu ke dalam daftar perhatian khusus (variant of concern’/VoC). Varian ini juga dilaporkan telah menyebar ke sebagian Eropa, Israel, dan Hong Kong.

Bergantung respons kebijakan masing-masing negara

Direktur Asosiasi Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus, berpendapat, di tengah situasi pemulihan saat ini, varian baru COVID-19 berisiko menciptakan ketidakpastian. Bahkan, menurutnya, alih-alih kebijakan penyesuaian likuditas atau tapering off dari bank sentral AS, pelaku pasar saat ini cenderung mencermati varian baru virus corona tersebut.  

“Tapi kami meyakini bahwa sejauh mana pemerintah dan negara-negara lain belajar dari kesalahan (penanganan pandemi) tentu ini akan menjadi langkah yang diperhatikan pelaku pasar. Sejauh pemerintah di banyak negara siap terkait hal ini, kami melihat pelaku pasar akan jauh lebih tenang,” kata Nico kepada Fortune Indonesia, Senin (29/11).

Mengutip BBC, sejumlah negara memang sudah mengeluarkan keputusan mengenai kedatangan internasional dari warga sejumlah negara di kawasan Afrika. Pemerintah Inggris, misalnya, menetapkan warga sejumlah negara di kawasan tersebut tidak boleh masuk kecuali mereka adalah warga negara Inggris. Pejabat pemerintahan AS juga mengatakan akan menerapkan hal serupa.

Sementara itu, pemerintah Indonesia bakal melarang warga asing yang memiliki riwayat perjalanan dari sejumlah negara di kawasan Afrika dalam kurun 14 hari sebelum mengajukan izin masuk ke Indonesia. Menurut Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi, Arya Pradhana Anggakara, pemerintah juga akan menangguhkan sementara pemberian visa kunjungan dan visa tinggal terbatas.

“Sepanjang diikuti dengan penanganan COVID-19 yang ada, terus kemudian dengan vaksinasi yang berjalan dengan baik, maka adanya sentimen varian baru ini akan ditanggapi biasa oleh pelaku pasar,” kata pengamat pasar modal dari Asosiasi Analis Efek Indonesia Reza Priyambada kepada Fortune Indonesia menambahkan.

Kecuali, lanjut Reza, jika varian baru COVID-19 tersebut menyebabkan karantina wilayah (lockdown) di banyak negara. Lalu, pada gilirannya berdampak pada pertumbuhan ekonomi global yang akan kembali menurun. “Nah itu mungkin bisa membuat kondisi pasar akan cenderung kembali melemah,” katanya.

Proyeksi IHSG mendatang

Menurut Nico, meski tertantang sejumlah ketidakpastian, kinerja IHSG hingga akhir tahun diperkirakan masih lebih baik dari tahun lalu dengan ditutup pada rentang 6.500 hingga 6.650. Dia pun menjagokan sejumlah saham yang bergerak di sektor, yaitu: perbankan, infrastruktur, energi, dan transportasi atau logistik.

Dia mengatakan, pada akhir tahun ini tentu investor masih akan mencermati kebijakan tapering off dari bank sentral Amerika Serikat. Itu terdiri dari rencana penyelesaian pembelian obligasi yang lebih awal dari yang diperkirakan serta kenaikan suku bunga.

Senada, Reza Priyambada juga berpendapat bahwa IHSG pada akhir tahun ini akan ditutup lebih baik dari 2020. Sebagai informasi, menurut data BEI, IHSG secara tahunan sudah meningkat 17,7 persen dari sebelumnya hanya 5.612,42.

“Apalagi IHSG kan beberapa kali menyentuh level tertinggi terbarunya (all time high) dengan sempat mencapai 6.700an. Padahal, target 6.700an itu masih di akhir tahun tapi sebelum mencapai akhir tahun sudah tembus,” katanya.

Menurut Reza, sentimen positif masih menyelimuti bursa saham Indonesia seiring fenomena yang biasa terjadi menjelang akhir tahun yaitu window dressing. Para pelaku pasar kerap merespons fenomena tersebut dengan aksi beli. Dengan begitu, harga saham perusahaan pun terangkat naik dan begitu pula IHSG.

Related Topics

    © 2024 Fortune Media IP Limited. All rights reserved. Reproduction in whole or part without written permission is prohibited.