BI Rate Tetap 6%, Ekonom: Siasati Volatilitas Karena Trump
Langkah BI dinilai tepat untuk stabilkan rupiah.
Fortune Recap
- Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan BI rate pada level 6 persen, mengantisipasi ketidakpastian global yang meningkat.
- Keputusan BI dianggap baik untuk stabilisasi pasar dan inflasi domestik, namun masih ada ruang pemangkasan suku bunga jika ketidakpastian global mereda.
- Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut lima faktor utama yang mendasari meningkatnya risiko global, termasuk kebijakan Trump dan dampak terhadap pasar negara berkembang.
Jakarta, FORTUNE - Bank Indonesia menjaga Suku Bunga acuan BI rate pada level 6 persen. Ekonom menilai langkah itu diambil demi menyiasati ketidakpastian global yang meningkat.
Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, mengatakan faktor ketidakpastian global yang dimaksud berkaitan dengan tingkat inflasi Amerika Serikat (AS) setelah Donald Trump memenangkan Pemilu AS. Sebelum hal itu terjadi, faktor risiko inflasi hanya datang dari fenomena decoupling antara kinerja sektor jasa dan industri manufaktur.
"Kalau sekarang bertambah lagi dengan berbagai kebijakan, kenaikan tarif, produk-produk impor dari Cina misalnya, tentu saja akan bisa membawa arah inflasi AS relatif lebih tinggi dibandingkan target yang sudah ditetapkan," ujarnya dalam Mandiri Macro and Market Brief: Road to Mandiri Investment Forum 2025, Rabu (20/11).
Jika berkaitan dengan inflasi, maka itu juga akan berkaitan dengan nilai tukar dolar. Hal itu akan berdampak terhadap ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga acuan Fed yang tidak lebih agresif. Apabila itu terjadi, aliran modal dari negara-negara emerging market seperti Indonesia berpeluang kembali ke Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya.
Lebih lanjut, keputusan BI untuk mempertahankan BI rate dinilai baik untuk stabilisasi pasar karena berperan krusial terhadap inflasi domestik. Bank Mandiri sendiri memproyeksikan inflasi domestik lebih rendah dari 2,4 persen pada 2024 secara year to date.
"Suku bunga 6 persen ini tidak menimbulkan syok capital flows yang lebih besar sehingga menimbulkan tekanan kepada nilai tukar kita, yang pada akhirnya akan berdampak terhadap inflasi domestik atau imported inflation," katanya lagi.
Kendati demikian, Bank Mandiri masih melihat adanya ruang pemangkasan suku bunga acuan jika faktor ketidakpastian global mulai menghilang sekitar 1 sampai dengan dua bulan ini, seraya menanti kebijakan-kebijakan pemerintahan Donald Trump.
"Akan keluar satu per satu sambil menunggu dilantiknya Presiden Donald Trump, nah ini baru akan terlihat," ujarnya.
5 faktor ketidakpastian setelah Trump terpilih kembali
Sejalan dengan Bank Mandiri, Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, menyatakan keputusan BI soal BI rate sesuai ekspektasi. Menurutnya, itu mencerminkan fokus BI untuk menstabilkan rupiah, yang dinilai akan berlanjut secara bertahap di tengah meningkatnya volatilitas pasar global di bawah kepemimpinan Trump.
Josua menjelaskan, mengingat pendekatan terukur Fed terhadap penurunan suku bunga, yang cenderung tidak terlalu dovish dibandingkan dengan yang diantisipasi sebelumnya, BI diperkirakan akan mengambil sikap yang sama hati-hati pada Desember 2024 hingga 2025.
"Kami memproyeksikan BI masih memiliki ruang untuk menurunkan BI-rate sebesar 25 bps menjadi 5,75 persen pada Desember 2024, dengan penurunan lebih lanjut sebesar 25 bps menjadi 5,50 persen yang diantisipasi pada tahun 2025," kata Josua dalam keterangannya.
Gubernur BI Perry Warjiyo menguraikan lima faktor utama yang mendasari meningkatnya risiko global saat ini, yakni:
1. Kebijakan yang berorientasi ke dalam di bawah Trump
Penerapan tarif yang menargetkan mitra dagang AS, termasuk Tiongkok dan Zona Euro, dapat membatasi pertumbuhan ekonomi global pada 2025. Selain itu, Trump berencana memperkenalkan pemotongan pajak untuk sektor-sektor ekonomi domestik AS.
2. Melambatnya disinflasi di AS
Pertumbuhan ekonomi yang kuat yang didorong oleh pemotongan pajak dan kebijakan populis lainnya menghambat tren disinflasi. Akibatnya, Fed mungkin akan mengambil sikap yang kurang agresif dalam penurunan suku bunga pada 2025.
"BI telah merevisi proyeksi penurunan suku bunga acuan, menurunkan ekspektasi dari 75-100 bps menjadi hanya 50 bps," kata Josua.
3. Melebarnya defisit anggaran AS
Pemotongan pajak dan kebijakan populis diperkirakan akan memperburuk defisit anggaran federal AS, sehingga meningkatkan suplai surat utang AS. Peningkatan suplai ini kemungkinan akan mendorong imbal hasil UST lebih tinggi.
4. Dampak terhadap pasar negara berkembang
Imbal hasil UST yang lebih tinggi, dikombinasikan dengan kebijakan Trump yang inward-looking, diperkirakan akan menarik investor ke pasar keuangan AS, sehingga mengurangi permintaan terhadap aset-aset negara berkembang, termasuk dari Indonesia (sentimen risk-off).
5. Penguatan dolar AS
Pergeseran aset ke pasar AS kemungkinan akan meningkatkan permintaan terhadap dolar AS sebagai salah satu aset safe-haven, sehingga berpotensi mendorong pelemahan nilai tukar rupiah.