Fortune Recap
- January Effect diprediksi singkat karena faktor eksternal seperti yield US treasury 10 tahun dan indeks dolar yang menekan mata uang rupiah.
- Pemangkasan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75% untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik.
- Euforia pemangkasan suku bunga membuka peluang terjadinya January Effect pada 2025 dengan investor perlu memperhatikan sentimen, momentum, dan fundamental perusahaan.
Jakarta, FORTUNE - January Effect adalah fenomena ketika harga saham pada pasar saham cenderung mengalami kenaikan pada bulan Januari. Kondisi itu menggambarkan keadaan saat investor membeli saham begitu harga menjadi lebih rendah, dan menjualnya ketika harga saham naik pada awal tahun.
Analis MNC Sekuritas, Herditya T Wicaksana, mengatakan January Effect pada tahun ini diperkirakan akan berjalan cukup singkat.
“Seperti halnya pada bulan Desember 2024 kemarin, window dressing terjadi cukup singkat, demikian pula dengan January Effect yang kami perkirakan juga akan cenderung singkat, [dan] diperkirakan saat ini sedang terjadi,” ujarnya pada Fortune Indonesia, Jumat (17/1).
Herditya mengatakan sentimen yang dibutuhkan untuk mendukung fenomena ini tidaklah cukup. Secara eksternal, kenaikan yield US treasury 10 tahun dan indeks dolar (DXY) yang menekan beberapa mata uang, khususnya rupiah, merupakan sejumlah variabel yang mendasarinya.
“Kemudian rilis data PDB Cina [kuartal IV] 2024 juga meningkat, sehingga dikhawatirkan akan menambah outflow dari Ihsg. Dan sebentar lagi inaugurasi presiden AS terpilih, Donald Trump,” katanya.
Analis Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximillianus Nico, mengatakan sejumlah sektor memiliki peluang baik dan layak dipantau, seperti sektor energi dan sektor perbankan, khususnya big banks. Hal ini juga berkaitan dengan pemangkasan BI Rate sebanyak 25 bps yang sempat membuat saham bank-bank besar melonjak.
“Sejauh ini sektor energi masih terlihat dapat memberikan penguatan, namun koreksi yang terjadi di bank buku besar membuat valuasi menjadi menarik,” katanya pada Fortune Indonesia, Jumat (17/1).
Bank Indonesia (BI) akhirnya memutuskan melakukan pemangkasan pada BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 5,75 persen. Keputusan tersebut melampaui ekspektasi konsensus, yang memperkirakan suku bunga acuan itu dipertahankan pada level 6 persen.
BI memandang nilai tukar rupiah masih terjaga sesuai dengan fundamental dan inflasi Indonesia yang saat ini cukup rendah. Bank sentral pun menilai saat ini adalah momentum tepat memangkas suku bunga demi mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi domestik.
Analis Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta, mengatakan jika euforia pemangkasan suku bunga tersebut berlanjut ke depan, maka peluang terjadinya January Effect pada 2025 ini mulai terbuka lebar.
Untuk itu, Nico memberikan beberapa strategi yang dapat diterapkan oleh investor demi memaksimalkan Investasi, seperti memperhatikan sentimen, memperhatikan momentum, serta memperhatikan fundamental perusahaan yang akan dibeli.
Nafan memandang para pelaku pasar saat ini tengah bersiap menyongsong periode dimulainya era kepemimpinan Donald Trump pada 20 Januari mendatang. Kampanye dari kebijakan Trump, yaitu Make America Great Again, yang menitikberatkan pada pro growth, menyebabkan aliran dana masuk cenderung terkonsentrasi pada pasar saham AS, sehingga masih terjadi arus dana keluar dari pasar saham Indonesia.
Pada penutupan perdagangan Jumat (17/1), IHSG ditutup menguat 47,13 poin (0,66 persen) menuju level 7.154,65 dengan volume perdagangan 21,72 miliar saham dan nilai transaksi Rp12,13 triliun.
Sepanjang perdagangan, terdapat 240 saham menguat, 330 saham melemah, dan 236 saham stagnan.