Jakarta, FORTUNE – Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyebut optimalisasi jalur perdagangan internasional wilayah Indonesia Timur menuju kawasan Asia Pasifik (APAC)–melalui Pelabuhan Kota Bitung, Sulawesi Utara–mampu menghemat biaya dan waktu tempuh antara 50-70 persen.
Ketua DPP Apindo Sulawesi Utara, Nicho Lieke, mengatakan Pelabuhan Kota Bitung memiliki potensi strategis yang bisa menguntungkan bahwa sektor ekspor-impor di Indonesia Timur. “Perjalanan (logistik) yang dulu dari Cina mesti ke Singapura, lalu Jakarta, Surabaya, sebelum ke Indonesia Timur, kini bisa langsung ke Bitung dan tentunya bisa ke Ambon, Papua, Makassar, dan lainnya,” ujarnya dalam diskusi Apindo, Kamis (11/7).
Menurut dia, pengusaha terus mendukung inisiatif pemerintah dalam optimalisasi jalur perdagangan di Indonesia Timur seiring besarnya potensi wilayah di Indonesia Timur, baik Sulawesi, Maluku, maupun Papua (Sulampua).
Sulut mencatat surplus neraca dagang dalam empat tahun terakhir. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2023 saja, surplus yang diraih Provinsi Sulut mencapai US$674,60 juta atau sekitar Rp10,87 triliun (kurs Rp16.107,67 per dolar AS). Angka ini terdiri dari US$888,63 juta untuk ekspor dan US$214,03 juta untuk impor.
Pemerintah Sulut juga mendukung optimalisasi jalur perdagangan APAC di Indonesia Timur, terutama Provinsi Sulut, dengan membuka penerbangan langsung yang mengubungkan Manado dengan beberapa negara Asia yang potensial, seperti Cina, Jepang, Korea dan Singapura. “Dengan adanya sinergi antara Bea Cukai, Apindo, dan pemerintah daerah, diharapkan ekspor komoditi unggulan kita akan terus meningkat,” katanya.
Potensi besar Pelabuhan Bitung
Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani, mengatakan bahwa penetapan Bitung sebagai International Hub Sea Port sejalan dengan pengembangan perdagangan internasional yang digagas pemerintah Indonesia. “Dengan letaknya yang berdekatan dengan jalur pelayaran internasional di Samudera Pasifik, Bitung sebagai bagian dari The Greater Sulu Sulawesi Economic Corridor telah menjadi pintu gerbang utama bagi perdagangan dan logistik,” katanya.
Selain itu, keunggulan posisi ini menjadikan Bitung sebagai hub utama yang menghubungkan Indonesia dengan negara tetangga di Asia Pasifik, termasuk Cina. Keunggulan ini juga tercermin dari nilai ekspor dari Pelabuhan Kota Bitung yang mendominasi hingga 56,87 persen dari nilai ekspor Sulut per Maret 2024 yang mencapai US$24,65 juta (Rp396,94 miliar).
Dampak pada Indonesia Timur
Dengan potensi ini, Shinta menilai Pelabuhan Bitung bukan hanya sekadar tempat mengirimkan barang ke pasar internasional, namun juga jadi titik sentral untuk meningkatkan konektivitas perdagangan regional yang dapat mendorong ekonomi lokal, penciptaan lapangan kerja, dan peluang investasi, tak hanya di Sulut, namun juga Sulawesi dan rantai perekonomian pada kawasan Indonesia Timur.
"Dalam catatan kami, berdasarkan sasaran di tahun 2025, kawasan Timur ini harus tumbuh lebih cepat daripada kawasan Barat Indonesia, karena kawasan Timur sering dianggap sebagai mata rantai terendah pertumbuhan perekonomian nasional," kata Shinta yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kawasan Indonesia Timur pada 2025 bisa mencapai 6,4-6,9 persen.
Berdasarkan data Kanwil Bea dan Cukai Sulawesi Bagian Utara, agregat nilai ekspor dari kawasan Sulampua selama 2020-2023 mencapai Rp2.227,76 triliun atau sekitar 10,59 persen dari nilai ekspor nasional yang mencapai Rp21.043,52 triliun. Sementara, volume ekspor di periode tersebut mencapai 115,57 juta ton atau sekitar 4,54 persen dari volumen ekspor nasional (2.545,35 juta ton).
Adapun, pada periode 2023-2024, komoditas ekspor utama dari Indonesia Timur (Sulampua) adalah hasil hilirisasi produk sumber daya alam, seperti Ferro Alloys, Nikel, Matte, produk baja, Alumunium, dan minyak sawit (CPO). Sedangkan, komoditas impor yang masuk didominasi oleh produk pendukung pembangunan industri, seperti bangunan prefabrikasi, peralatan, dan mesin produksi.