Jakarta, FORTUNE – Riset Populix menunjukkan, 73 persen responden yang terdiri dari para Pekerja formal pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan di dunia kerja dengan perlakuan yang beragam. Survei itu dilakukan terhadap 1.412 pekerja.
Senior Executive Social Research Populix, Wayan Aristana, mengatakan bahwa hasil ini diperburuk dengan penanganan kasus yang cenderung tak maksimal. “Berdasarkan pengakuan responden yang pernah menjadi korban, sebanyak 35 persen penanganan kasus perlakuan tidak menyenangkan di tempat kerja tidak terselesaikan. Ditambah lagi, sebanyak 21 persen penanganan kasusnya malah tidak berpihak pada korban,” katanya dalam keterangan yang diterima Fortune Indonesia, Selasa (25/6).
Beberapa perlakukan tidak menyenangkan mencakup beberapa hal, seperti dalam bentuk verbal (76 persen), diskriminasi (63 persen), pemaksaan kerja (61 persen), pelecehan seksual (41 persen) maupun kekerasan fisik (25 persen).
Kasus berulang
Aristana mengatakan bahwa penanganan tidak maksimal pada kasus perlakuan tidak menyenangkan terhadap pekerja menyebabkan kasus yang sama terus berulang. Hal ini berujung pada pelaku kembali melakukan perbuatannya (91 persen) dan korban/saksi dapat ancaman (67 persen), serta dampak negatif lainnya.
“Bahkan ada pekerja yang mengaku korban justru berujung diberhentikan dari pekerjaannya,” kata Aristana.
Dalam survei itu, 35 persen responden yang mengatakan perusahaannya memiliki peraturan khusus untuk menangani kasus semacam ini. Bahkan, ada yang menyediakan aturan sanksi yang cukup tegas bagi pelaku (28 persen) dan juga mekanisme pelaporannya (25 persen). Namun, 22 persen responden menyatakan perusahaan mereka tidak memiliki mekanisme apapun.
Tanggung jawab HR
Head of Human Resources Populix, Jonas Danny, mengatakan bahwa kasus dan peristiwa perbuatan tidak menyenangkan menjadi salah satu tugas divisi Human Resources (HR) yang cukup pelik.
Menurutnya, hampir seluruh mekanisme penanganan perlakuan tidak menyenangkan ini sifatnya delik aduan, yaitu harus ada pengaduan dari pihak korban. “Sedangkan dalam kasus ini seringkali korban juga merasa enggan untuk melapor karena ada ketakutan akan bocornya informasi mengenai identitas pelapor,” ujarnya.
Bahkan, ketika korban melapor, belum tentu hasilnya akan berpihak kepada mereka. “Karena bisa jadi pelaku justru dilindungi oleh pihak perusahaan karena satu dan lain hal," katanya.