Tapera Jadi Beban Baru Pengusaha dan Pekerja
Pengamat sebut Tapera tak efektif atasi backlog perumahan.
Jakarta, FORTUNE - Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyatakan penolakan terhadap kebijakan pemerintah mengenai iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang ditetapkan sebesar 3 persen. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024, yang merupakan perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), dan diterbitkan pada 20 Mei 2024.
Ketua APINDO, Shinta W. Kamdani, mengungkapkan bahwa iuran Tapera ini memberatkan baik dari sisi pengusaha maupun pekerja. "Iuran ini menambah beban keuangan bagi pelaku usaha serta pekerja atau buruh," ujarnya dalam keterangan, Selasa (28/5).
Menurut Shinta, kebijakan tersebut tidak memperhitungkan kondisi ekonomi saat ini yang masih dalam tahap pemulihan. "Di tengah upaya pemulihan ekonomi, tambahan iuran seperti ini justru akan menjadi beban tambahan yang signifikan," katanya, menambahkan.
Pasalnya, beban pungutan yang telah ditanggung oleh pemberi kerja saat ini yaitu sebesar 18,24 persen hingga 19,74 persen dari penghasilan pekerja. Beban ini pun semakin berat dengan adanya depresiasi Rupiah dan melemahnya permintaan pasar.
Beban bagi pengusaha
Shinta menggarisbawahi beberapa poin yang saat ini menjadi beban bagi pengusaha, Pertama, jaminan sosial ketenagakerjaan berdasarkan UU No. 3/1999, yaitu iuran untuk jaminan hari tua sebesar 3,7 persen, jaminan kematian 0,3 persen, jaminan kecelakaan kerja 0,24 persen sampai 1,74 persen, dan jaminan pensiun 2 persen.
Kedua, jaminan sosial kesehatan berdasarkan UU No. 40/2004, yaitu sebesar 4 persen. Ketiga, cadangan pesangon sebesar 8 persen. Menurut Shinta pun, potongan untuk iuran Tapera tidak diperlukan karena pemerintah bisa memanfaatkan sumber pendanaan dari dana BPJS Ketenagakerjaan untuk program terkait perumahan pekerja.
“Pemerintah diharapkan dapat lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini sesuai dengan regulasi PP No.55/2015 Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, dimana sesuai PP tersebut, maksimal 30% [Rp138 triliun], maka aset JHT sebesar Rp460 triliun dapat digunakan untuk program MLT [manfaat layanan tambahan] perumahan pekerja. Dana MLT yang tersedia sangat besar dan sangat sedikit pemanfaatannya,” katanya.
Shinta juga, MLT dari sumber dana program JHT dapat digunakan untuk empat manfaat, yaitu pinjaman KPR maksimal Rp500 juta, pinjaman uang muka perumahan hingga Rp150 juta dan, pinjaman renovasi perumahan hingga Rp200 juta, dan Fasilitas Pembiayaan Perumahan Pekerja/Kredit Konstruksi.
Sebelumnya, APINDO telah melakukan diskusi dan koordinasi dengan sejumlah pihak terkait, diantaranya BPJS Ketenagakerjaan dan Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk mempercepat perluasan program MLT bagi kebutuhan perumahan pekerja. Dalam diskusi tersebut, kata Shinta, khusus pekerja swasta dapat dikecualikan dari Tapera dan mendapatkan fasilitas perumahan dari BP Jamsostek.
APINDO berharap pemerintah dapat meninjau kembali kebijakan ini dengan mempertimbangkan situasi ekonomi dan kemampuan para pelaku usaha serta pekerja. APINDO menyatakan terus mendorong penambahan manfaat program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) BPJS Ketenagakerjaan, sehingga pekerja swasta tidak perlu mengikuti program Tapera dan Tapera sebaiknya diperuntukkan bagi ASN, TNI, Polri.
Tak efektif atasi backlog perumahan
Menanggapi hal ini, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, mengatakan meragukan bahwa Tapera bisa menyelesaikan masalah backlog rumah di Indonesia. Secara aturan, kewajiban ini sudah berjalan dari tahun 2018 atau dua tahun setelah UU Tapera terbit.
“Nyatanya backlog perumahan masih terlampau tinggi. Bank Tabungan Negara juga sudah disuntik PMN jumbo pada tahun 2023 untuk membantu kepemilikan rumah,” ujarnya, kepada Fortune Indonesia, Selasa (28/5).
Dia menambahkan, tujuan Tapera sangat ngambang antara investasi atau arisan kepemilikan rumah. Dalam beleid Tapera, dana yang dikumpulkan dari peserta dikelola ke dalam beberapa portofolio investasi, yaitu ke korporasi (47 persen), SBN (45 persen), dan sisanya deposito.
Dia menambahkan, “Dalam beleid tersebut juga disebutkan bahwa peserta berhak menerima informasi dari manajer investasi tentang dana dan hasil dari dana kita. Apakah kita diberitahukan setiap bulan dimana posisi kekayaan kita?”
Merugikan pekerja
Nailul Huda menyampaikan, manfaat bagi peserta yang tidak mengambil program Tapera akan sangat minim. Peserta yang tidak ambil rumah pertama, karena preferensi atau sudah punya rumah, justru dirugikan apabila tingkat pengembalian tidak optimal.
“Seharusnya dengan uang yang diambil untuk iuran Tapera bisa digunakan untuk investasi sendiri, tapi gegara diambil buat Tapera bisa tidak optimal, atau bahkan rate return-nya lebih rendah dibandingkan inflasi. Jadi ada opportunity cost yang hilang,” ujarnya.
Serikat buruh/pekerja juga menolak pemberlakuan program Tapera karena dinilai memberatkan beban keuangan pekerja. Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos, mengatakan dengan upah yang hanya minimum selama ini saja buruh harus menanggung pemotongan iuran BPJS kesehatan, pensiun, Jaminan Hari Tua dan kini harus mendapatkan pemotongan upah melalui program Tapera.
“Kebijakan Tapera ini belum menjadi bagian yang urgent bagi rakyat Indonesia, yang urgent adalah bagaimana adanya kepastian kerja dan meningkatkan pendapatan rakyat, sehingga lebih layak dan manusiawi,” katanya.
Ia juga mengatakan sebaiknya kebijakan ini dibatalkan, sebab selama ini untuk memenuhi kebutuhan dasar saja rakyat masih harus berhutang sana sini bahkan masih kesulitan apalagi dengan ditambah beban kembali melalui Tapera.