Jakarta, FORTUNE - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan 177 dari 436 daerah telah menetapkan tarif pajak dan retribusinya dengan mengacu pada Undang-Undang No.1/2023 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Ini termasuk tarif pajak hiburan yang tergolong kategori Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) dengan tarif 10 persen, maupun pajak jasa hiburan tertentu di luar PBJT—yakni diskotik, karaoke, bar, kelab malam, dan mandi uap atau spa—yang tarifnya ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kemenkeu, Lydia Kurniawati Christyana, mengatakan untuk jasa hiburan tertentu, tarif yang ditetapkan 177 daerah tersebut bervariasi pada rentang 40 persen sampai 75 persen.
Namun, ada 58 daerah yang menetapkan tarif pada rentang tertinggi, yakni 70 sampai 75 persen.
"Lima contohnya Kabupaten Siak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Ogan Komering Ulu Timur, Kabupaten Belitung Timur, Kabupaten Lebak, Kabupaten Grobogan, Kota Tual," ujarnya dalam media briefing di Kementerian Keuangan, Selasa (16/1).
Menurut Lydia, penetapan tarif tinggi tersebut bukan baru dilakukan pada saat UU HKPD disahkan, melainkan sejak UU No.28/2009 tentang Pajak Dan Retribusi Daerah diberlakukan. Sebab, dalam beleid lama tersebut, tarif atas lima pajak jasa hiburan khusus tersebut ditetapkan maksimal 75 persen.
"Pada saat mereka menggunakan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 itu, mereka menggunakan tarif 75 persen," katanya.
Daerah yang memungut pajak jasa hiburan tertentu dengan tarif 60 persen sampai 70 persen mencapai 16 daerah; tarif 50 persen sampai 60 persen sebanyak 67 daerah; dan tarif 40-50 persen sebanyak 36 daerah.
Lydia menjelaskan penetapan tarif pajak di 177 kabupaten/kota tersebut tertuang dalam peraturan daerah masing-masing yang sebelumnya telah dibahas bersama DPRD dan dievaluasi oleh Kementerian Keuangan.
"Perda yang ditetapkan per 5 Januari 2024 itu, di tahun 2023 Raperdanya dievaluasi Kementerian Keuangan. Wajib kita evaluasi, tujuannya apa supaya enggak lari keluar dari Undang-Undang. Enggak keluar dari peraturan pemerintah. Karena kita memiliki kewenangan evaluasi," ujarnya.
Dinilai tak memberatkan
Lydia juga menyampaikan bahwa penetapan batas bawah tarif 40 persen terhadap objek pajak hiburan seperti diskotik, karaoke, bar, kelab malam, dan mandi uap atau spa disebabkan jasa tersebut masuk dalam kategori yang dinikmati golongan tertentu atau kelas atas.
"Untuk jasa tertentu tadi dikonsumsi masyarakat tertentu, bukan masyarakat kebanyakan. Oleh karena itu, untuk mempertimbangkan dan memberikan rasa keadilan dalam upaya mengendalikan, dipandang perlu untuk menerapkan tarif batas bawah," katanya.
Sementara, objek pajak hiburan di luar kategori tersebut seperti tontonan film, pagelaran seni, pameran, hingga kebun binatang yang dinikmati masyarakat umum masuk dalam objek PBJT dengan tarif 10 persen. Ini, menurut Lydia, justru meringankan pengusaha dan masyarakat sebab pada UU PDRD, tarif pajak hiburan tersebut ditetapkan maksimum 35 persen.
"Hanya tinggal diskotik, karaoke, klub malam, bar, spa (yang di luar PBJT). Dan UU HKPD ini untuk yang spesial tadi, tertentu tadi, ditetapkanlah tarif paling bawahnya batas bawahnya 40 persen, batas atasnya 75 persen. Jadi, yang ditetapkan naik untuk pajak hiburan yang mana bukan pagelaran busana, bukan wahana air, bukan panti pijat, itu malah turun menjadi 10 persen," kata Lydia.
Pertimbangan pengenaan tarif batas bawah dan atas, lanjutnya, juga telah melalui proses pembahasan yang panjang bersama DPR. Di samping itu, hal tersebut pun telah dibahas bersama kepala daerah se-Indonesia.
"Dalam penetapan tarif ini, pemerintah bersama dengan legislatif telah mempertimbangkan berbagai masukan dari berbagai pihak dan juga melihat praktik-praktik pemungutannya yang telah terjadi di lapangan," ujarnya.