Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan diikuti dengan sosialisasi dan penjelasan lebih banyak kepada masyarakat.
Hal tersebut diperlukan sebagai penegasan bahwa pemerintah tidak sembarangan dalam menyusun dan menerapkan kebijakan terkait perpajakan.
"Meskipun kita membuat kebijakan mengenai perpajakan termasuk PPN ini, bukan berarti membabi buta dan seolah tidak punya perhatian terhadap beberapa sektor seperti kesehatan, pendidikan, dan bahkan makanan pokok," ujarnya dalam rapat bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11).
"Jadi, di sini kami akan membahas bersama Bapak-Ibu sekalian untuk membahas undang-undangnya. Kita perlu menyiapkan agar itu bisa dijalankan dengan penjelasan yang baik sehingga kita tidak membabi buta, tetapi APBN memang harus terus dijaga kesehatannya, dan juga harus mampu merespons krisis global seperti yang kita alami saat pandemi. Itu sebabnya kita menggunakan APBN," katanya.
Dia melanjutkan bahwa perumusan kebijakan tarif PPN menjadi 12 persen telah melalui pembahasan dan debat cukup panjang pada pemerintahan sebelumnya, termasuk bersama DPR. Karena itu, jika hal tersebut kembali dipermasalahkan, ia khawatir pembahasan atas keputusan yang telah diambil tersebut justru keluar dari konteks dan tujuan awal Kenaikan PPN secara bertahap.
PPN telah naik dari 10 persen menjadi 11 persen sejak 2022, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pasal 7 ayat (1) beleid tersebut juga menyebutkan bahwa PPN akan kembali naik menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.
"Debat mengenai PPN 11-12 persen itu juga sudah sangat mendalam. Waktu itu ada pro-kontra. Ini Bapak-Ibu sekalian sudah paham, sudah tahu kita berdebat begitu, tapi jika ditempatkan dalam konteks saat ini, jadi berbeda lagi. Ketika ekonomi melemah, lalu kita menaikkan PPN, maka akan ada cukup banyak perdebatan mengenai ini. Tapi, kita tetap menjaga siklus untuk mengimbangi situasi," katanya.
Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa keberpihakan pemerintah terlihat dari pengecualian dan besaran tarif PPN untuk barang dan jasa tertentu. Sebab, pemerintah memang berwenang mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5 persen dan maksimal 15 persen. Ini dapat dilakukan melalui penerbitan peraturan pemerintah (PP) setelah pembahasan dengan DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU PPN.
"Pada saat yang sama, ada tarif pajak yang boleh dikenakan 5 persen, 7 persen, bahkan bisa dibebaskan menjadi nol persen, seperti yang disampaikan Bapak-Bapak tadi. Dan memang banyak, jika kita hitung, teman-teman di Pajak seperti Pak Anggito, Pak Suryo [Utomo], Pak Yon [Arsal] dapat menghitung secara detail insentif atau fasilitas untuk pembebasan atau pengurangan tarif menjadi lebih rendah 5, 7 persen, yang diatur dalam peraturan tersebut," ujarnya.