Epidemiolog: Pencabutan PPKM Belum Tepat dan Berisiko Besar
Pembatasan masih diperlukan meski data terlihat membaik.
Jakarta, FORTUNE – Epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman, menyampaikan bahwa pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diputuskan oleh Pemerintah Indonesia belum tepat dan berisiko besar.
Dicky mengatakan bahwa hal ini dikarenakan keputusan tersebut diungkapkan pada masa libur Natal dan Tahun Baru yang berpotensi menimbulkan kerumunan dan pergerakan tinggi di berbagai tempat. “Saya sulit menghindari anggapan bahwa ini lebih bernuansa politis ekonomis dibandingkan medis,” ujarnya saat dihubungi Fortune Indonesia, Senin (2/1).
Menurut Dicky, modal data kuantitatif yang jadi landasan pemerintah untuk mencabut PPKM pun dirasa belum lengkap. “Di balik data kuantitatif ada data kualitatif yang menunjukkan bahwa perilaku masyarakat Indonesia kalau sakit tidak ke faskes (fasilitas kesehatan), ngobatin sendiri, di rumah. Jadi, nggak serta merta rumah sakit kosong lalu kasus pun ikut kosong,” katanya.
Selain itu, kesadaran masyarakat melakukan test ditambah dengan penelusuran penyebaran Covid-19 sebenarnya menurun signifikan, bahkan di bawah standar WHO, dengan tes 1.000 orang per minggu. “WHO mengatakan bahwa dunia saat ini mengalami penurunan 90 persen dari kapasitas surveillance genomic, artinya kita akan buta situasi, karena itu (surveillance) adalah mata kita untuk melihat dari karakter dan persebaran virus,” ujarnya.
Di sisi lain, cakupan vaksinasi booster Indonesia termasuk yang sangat rendah. Apalagi, bagi kelompok lansia, dosis pertama booster saja masih di bawah 30 persen, bahkan dosis kedua belum sampai 5 persen. Hal ini dinilai berbahaya, karena yang bermutasi saat ini adalah varian virus yang efektif untuk menerobos kekebalan dari vaksinasi.
Jangan dilakukan di masa libur
Dicky berpendapat, pencabutan PPKM sebaiknya tidak dilakukan di masa libur Nataru dan lebih bijak dilakukan pada minggu kedua atau ketiga Januari 2023. Selain itu, pencabutan PPKM sebaiknya tak diartikan menghilangkan seluruh pembatasan.
Penghilangan pembatasan juga pernah dilakukan oleh Swedia. Sejak lama, negara Eropa Utara ini sudah tak menggunakan Public Health and Social Measurement (PHSM)–semacam PPKM yang disarankan oleh WHO. Bahkan, di Eropa, negara tersebut menjadi yang paling bebas dan tak terikat berbagai larangan pergerakan di masa pandemi Covid-19.
Namun, terjadi saat ini menempatkan Swedia menjadi negara Eropa dengan angka kematian akibat Covid-19 tertinggi, di akhir 2022. “Data ini membuktikan bahwa PHSM masih diperlukan, dalam bentuk apapun. Nggak harus PPKM,” katanya.
Belum siap
Menurut Dicky, masyarakat Indonesia belum siap untuk hidup tanpa adanya PPKM, mengingat pandemi Covid-19 masih terus terjadi dan virus bisa bermutasi kapan saja. “Karena vaksin seperti booster masih penting, perilaku individu mencuci tangan atau penggunaan masker masih penting,” ujarnya.
Oleh karena itu, meskipun sudah dicabut, pedoman pengganti PPKM seharusnya tetap dilkukan. Misalnya, sistem lampu lalu lintas, seperti yang diterapkan Australia setelah mencabut PHSM mereka. “Tidak hanya di masa krisis, tapi juga untuk mengawal masa transisi sampai finish line. Kalau sudah dicabut, ibaratnya masih perang tapi sudah lepas senjata,” katanya.
Pikir panjang
Indonesia perlu berpikir panjang karena pandemi Covid-19 belum usai. Kalau sampai penduduk sakit-sakitan, akan menjadi beban sampai ke depan. “Jadi, nggak bisa hanya berpikir pendek soal ekonomi saja, tepi kesehatan ini juga adalah investasi,” katanya.
Meski begitu, Dicky juga memaklumi bahwa ekonomi adalah masalah penting dan menjadi prioritas di tengah situasi global yang serba tak pasti. Oleh karena itu, menurutnya prinsip gas dan rem yang sudah diterapkan pemerintah itu perlu dipertahankan.