Panic Buying Bukan Cerminan Masyarakat Irasional
Ini reaksi terhadap ketidakpastian yang ekstrem.
Jakarta, FORTUNE – Pandemi Covid-19 adalah pukulan keras bagi sebagian besar manusia di muka bumi. Ketidaktahuan menyeluruh akan dampak yang bakal ditimbulkan wabah dari Wuhan itu memunculkan rupa-rupa efek, yang salah satunya panic buying. Banyak konsumen membeli barang-barang dan menimbunnya, mulai tisu toilet, hand sanitizer, masker, maupun bahan makanan.
Kini, krisis energi pun terjadi di beberapa belahan dunia, seperti Tiongkok, Eropa, dan Inggris Raya. Ternyata panic buying pun masih tetap terjadi meski dalam tataran yang berbeda. Orang tetap berpotensi melakukan pembelian berlebihan, namun sebabnya bisa karena rantai pasokan yang terganggu atau efek perubahan iklim. Situasi ini pun seringkali dianggap sebagai gambaran masyarakat yang mulai berlaku irasional.
Melansir Fortune.com, dalam 18 bulan terakhir para psikolog telah mempelajari motivasi khas para penimbun. Mereka berupaya untuk memetakan motivasi ini dalam kaitannya dengan peran pemerintah dan apa yang kelak bakal dihadapi di masa mendatang. Namun, satu kesimpulan yang dihasilkan adalah: istilah ‘panic’ buying bukan berarti merujuk pada kondisi irasional.
Temuan tentang sebab terjadinya panic buying
Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bahwa konsumen dalam mode panic buying adalah mereka yang memiliki anak. Sedangkan pada penelitian lain di Singapura, panic buyers dimotivasi oleh rasa takut, tekanan sosial, dan tingkat keparahan situasi yang dirasakan.
Beberapa peneliti pun menemukan bahwa peningkatan rasa terancam, ketidakpercayaan pada orang lain, serta persepsi akan adanya risiko tinggi dapat menjadi faktor yang memotivasi panic buying. University of Cambridge pada Maret 2021 pun menemukan bahwa pandangan orang lain acap kali jadi faktor signifikan.
Sebuah penelitian dari Australia dalam Journal of Experimental Psychology mengemukakan bahwa panic buying adalah reaksi terhadap ketidakpastian yang ekstrem. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa dalam situasi perubahan bertahap yang konstan, orang mungkin lebih cenderung bertahan dengan kebiasaannya yang lama.
Panic buying tidak selalu identik dengan kepanikan
Profesor psikologi sosial di Universitas Keele, Inggris, Clifford Stott, menyampaikan bahwa penggambaran tentang panic buying yang berlebihan di masyarakat, seperti video orang yang berkelahi di pasar swalayan karena berebut barang yang akan ditimbun adalah sesuatu yang tidak tepat. Dalam level ini, panic buying digambarkan sebagai ekspresi keegoisan dan kepanikan yang sebenarnya.
Ia berpendapat bahwa panic buying tidak selalu identik dengan kepanikan dan tindakan irasional. Menurutnya, orang-orang yang mengantre untuk mengisi bahan bakar kendaraan di Inggris tidak melakukan hal yang brutal dan egois.
Separah-parahnya, kata Clifford, orang-orang tersebut akan berkata, “Saya harus pergi dan bekerja. Bila tidak mengantre untuk mendapatkan bensin ini, saya tidak akan mendapatkan bahan bakarnya,” ucapnya. Jadi, hal ini bukanlah kepanikan. “Itu dengan pertimbangan. Jadi itu rasional," katanya.
Penggunaan tisu toilet yang sangat tinggi pada 2020, menurut Clifford, sebenarnya juga cukup rasional. Bayangkan penggunaan tisu toilet di luar rumah sebelum pandemi, ditumpuk jadi satu di rumah bersama keluarga selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Jadi, terkait situasi ini, pembelian tisu toilet yang ekstrem dari orang-orang sebenarnya masuk akal.
Masyarakat yang mudah terpancing hanya karena peringatan
Senada dengan Clifford Stott, seorang profesor dan psikolog klinis di University of British Columbia, Steven Taylor, dalam bukunya, The Psychology of Pandemics, 2019, menyatakan bahwa panic buying tidak sepenuhnya irasional. “"Anda bisa panik tentang berbagai hal karena alasan yang sangat baik," ucapnya seperti dikutip Fortune.
Menurutnya, panic buying menyiratkan reaksi yang ‘tidak proporsional’. Pada kasus di Inggris, pengiriman tidak turun secara signifikan ketika lonjakan tajam dalam permintaan dimulai. Awalnya, menurut Taylor, didorong oleh peringatan tentang potensi kekurangan. Selanjutnya, ini akan menjadi kekurangan yang sebenarnya.
"Selama 18 bulan terakhir atau lebih, panic buying telah berkembang. Ini jadi lebih buruk dan lebih mudah terpicu," katanya. "Jadi, orang hanya perlu mendengar tentang ancaman, lockdown, atau adanya kekurangan, maka orang-orang secara proaktif akan keluar dan mulai melakukan panic buying."
Pesan ‘jangan panik’ tidak ada gunanya
Lebih lanjut, Clifford Stott menilai bahwa pesan yang berupa ungkapan ‘jangan panik’ tidak ada gunanya sama sekali. Apalagi, bila pemerintah memperkeruh situasi dengan alasan "tekanan" saat ini disebabkan oleh penyesuaian perekonomian, tenaga kerja murah, dan menyalahkan bisnis karena kurangnya investasi.
Menurut Clifford, ketika berbicara tentang kekurangan energi, latar belakangnya bukan hanya tentang pasokan produk konsumen, tetapi juga pertanyaan serius tentang bagaimana kita mengelola transisi secara lancar dari bahan bakar fosil ke campuran energi baru tanpa karbon.
"Sungguh jenis perdebatan yang harus kita lakukan untuk keluar dari krisis bahan bakar adalah bahwa ini bukan masalah patologi masyarakat dan keegoisan individu. Ini masalah kerapuhan rantai pasokan dan ketergantungan kita pada energi berbasis karbon," kata Clifford.