Deretan Kontroversi dan Pasal yang Dianggap Bermasalah di KUHP Terbaru
Sejumlah pasal KUHP terbaru dinilai berbahaya.
Jakarta, FORTUNE – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru. Regulasi ini sempat menuai kontroversi lantaran dinilai terdapat sejumlah pasal bermasalah.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly, mengatakan terbitnya KUHP merupakan upaya mereformasi hukum pidana. "Ini menjadi titik awal reformasi penyelenggaraan pidana di Indonesia melalui perluasan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan," ujarnya seperti dikutip dari Antaranews (8/12).
Ia menyebutkan terdapat tiga pidana yang diatur dalam KUHP terbaru, yakni pidana pokok, pidana tambahan dan pidana yang bersifat khusus.
KUHP terbaru dinilai bermasalah karena dianggap memuat pasal-pasal yang berpotensi menimbulkan kriminalisasi berlebihan sehingga mengancam kebebasan demokrasi dan pers. Berikut ini adalah beberapa hal dalam KUHP terbaru yang dianggap bermasalah menurut Aliansi Nasional Reformasi.
1. Living law (pasal 2)
Pasal ini bisa berbahaya karena berpotensi menimbulkan pidana kepada seseorang yang melakukan sesuatu hal yang tidak disukai oleh orang-orang yang tinggal di suatu lingkungan, meski hal tersebut bukan sebuah kejahatan. Tidak ada batasan yang jelas tentang hukum yang hidup di tengah masyarakat.
Pasal ini dikhawatirkan bisa jadi preseden baru terjadinya diskriminasi-diskriminasi baru pada kelompok rentan dan terpinggirkan, seperti kaum perempuan.
2. Hukuman mati (pasal 67)
Penerapan hukuman mati dianggap sudah tidak relevan lagi dengan situasi dunia saat ini. Berdasarkan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), hukuman mati seharusnya tidak diperlukan lagi, bahkan sudah lebih dari 20 negara yang meminta Indonesia untuk menghapuskan hukuman mati.
3. Perampasan aset untuk denda individu (pasal 81)
Pasal ini memungkinkan penyitaan aset yang dimiliki pada seseorang yang terpidana oleh denda. Dengan demikian, bila seseorang terpidana tak mampu membayar denda hingga ratusan juta rupiah, pengadilan berhak menyita rumah miliknya, meski di dalamnya ada keluarga yang butuh tempat tinggal.
4. Penghinaan Presiden (Pasal 218, 219, dan 216)
Pasal ini dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan berpendapat dan berekspresi, karena setiap kritik yang ditujukan untuk Presiden atau pemerintah sangat mungkin dipidana bila dianggap menyerang harkat dan martabat Presiden atau wakil Presiden. Padahal, hal ini seringkali bersifat subjektif.
5. Penghinaan Lembaga Negara dan Pemerintah (Pasal 240 dan 241)
Serupa dengan pasal penghinaan Presiden, kebebasan untuk berpendapat terancam oleh hadirnya pasal ini. Padahal, setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat dan ekspresinya, meski berupa kritik.
6. Kontrasepsi (Pasal 410, 411, dan 412)
Pasal ini dianggap berbahaya bagi pihak-pihak yang mengedukasi kesehatan reproduksi, karena yang boleh melakukannya hanya pihak berwenang. Sedangkan, pendidikan kesehatan reproduksi semestinya bisa dilakukan oleh siapapun.
7. Pidana perzinaan (Pasal 413)
Pasangan bukan nikah yang melakukan hubungan seks terancam pidana dengan hukuman satu tahun penjara. Meski demikian, ancaman itu baru bisa berlaku apabila ada pihak yang mengadukan, terutama dari pihak yang dirugikan langsung, seperti pasangan sah atau orang tua. Pasal ini dianggap membuka celah persekusi dan pelanggaran ruang privat masyarakat.
8. Penyebaran ajaran komunis (Pasal 188)
KUHP baru juga mengancam pidana hingga 4 tahun bagi seseorang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunis, marxisme, dan leninisme. Ancaman pidana bisa bertambah hingga tujuh tahun jika tindakan penyebaran ajaran tersebut dilakukan dengan tujuan mengganti Pancasila sebagai dasar negara.
Bahkan, hukuman ini bisa terus bertambah sampai 15 tahun, bila mengakibatkan kerusuhan, dan mengakibatkan kematian orang lain.
Koalisi menganggap frasa ini bisa digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok oposisi penguasa. Sebab, tak ada penjelasan rinci soal frasa “Paham yang bertentangan dengan Pancasila,”.
9. Hukuman koruptor (Pasal 603)
Dalam KUHP terbaru, hukuman koruptor diturunkan menjadi dari 4-20 tahun penjara menjadi 2-5 tahun penjara saja. Dendanya pun diturunkan dari minimal Rp200 juta menjadi Rp50 juta.
Pengubahan lama dan denda hukuman ini dianggap memberikan ancaman pidana yang terlalu ringan dan tak memberikan efek jera pada koruptor.
10. Pidana bagi demo tanpa pemberitahuan (Pasal 256)
Pasal ini dikritik karena bisa dengan mudah mengkriminalisasi dan membungkam kebebasan berpendapat. Koalisi masyarakat sipil mengatakan, pada praktiknya polisi kerap mempersulit izin demo.
Demikianlah sejumlah pasal yang masih dianggap bermasalah dalam KUHP yang baru saja disahkan. Dengan mengetahui hal ini, maka masyarakat harus lebih memahami pasal-pasal dalam KUHP secara terperinci, sehingga penerapannya bisa efektif untuk mengurangi sejumlah kejahatan dan meminimalisir terjadinya persekusi oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab.