Daftar Obat Covid-19 Pengganti Sesuai Rekomendasi 5 Organisasi Profesi
Kelima obat itu di antaranya Ivermectin dan Klorokuin.
Jakarta, FORTUNE – Kementerian Kesehatan mengonfirmasi temuan terkait lima jenis obat yang tidak lagi bermanfaat untuk menangani pasien Covid-19. Kendati demikian, pemerimtah telah memiliki tiga obat pengganti untuk terapi pasien corona.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kemenkes Siti Nadia Tarmizi, mengatakan bahwa kelima obat tersebut memang tidak sesuai dengan tata laksana pengobatan pasien Covid-19. Adapun kelima obat itu di antaranya adalah Ivermectin, Klorokuin, Oseltamivir, plasma konvalesen dan Azithromycin.
Menurut Nadia, sesuai dengan pedoman tata laksana Covid-19 terkini, obat pengganti yang digunakan untuk pasien yang mengalami gejala adalah Favipiravir, Molnupiravir, atau Nirmatrelvir/Ritonavir (Paxlovid).
“Kami sesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh 5 organisasi profesi, ya,” kata Nadia kepada Fortune Indonesia, Senin (7/2).
Kelima organisasi yang merekomendasikan adalah Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), serta Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Adapun, seluruh informasi dan ketentuan tersebut sudah ada di buku pedoman tata laksana Covid-19. Seluruh masyarakat dapat mengunduhnya di lama Satgas Covid-19.
Lima jenis obat yang tak lagi efektif
Pada Sabtu (5/2), Prof. Zubairi Djoerban, menuliskan dalam akun Twitter, terdapat 5 jenis obat yang sebelumnya digunakan untuk mengatasi Covid-19, namun kini tidak bermanfaat lagi. Bahkan, dapat menimbulkan efek samping serius. Kelima jenis obat ini adalah :
- Ivermectin
- Klorokuin
- Oseltamir
- Plasma Convalescent
- Azithromycin
Ia pun merekomendasikan pilihan sebagaimana anjuran lima organisasi profesi kedokteran. “Ada beberapa pilihan untuk antivirus. Ada Avigan atau Favipiravir dan Molnupiravir, serta Remdesivir. Nanti biar dokter Anda yang memilihkan,” tulisnya di Twitter.
Kontroversi Ivermectin
Jenis obat ivermectin sempat jadi rekomendasi obat untuk mengatasi virus Covid-19. Meski demikian, kata Zubairi, penggunaan obat ini sebagai antivirus ditentang Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan regulator obat uni Eropa.
“Banyak laporan pasien yang memerlukan perhatian medis, termasuk rawat inap, setelah konsumsi Ivermectin,” tulis Zubairi di Twitter.
Alih-alih sepakat, adapula sebagian komentar pengguna Twitter yang justru tidak setuju dengan pendapat Zubairi. Menurut beberapa dari mereka yang sudah pernah terinfeksi Covid-19 dan menggunakan Ivermectin, obat tersebut cukup efektif mengatasi Covid-19.
“Maaf prof, kalau bicara realistis, pilihan terbaik mnrt saya yg bodoh ini ya Ivermectin. Pertama, data klinis cukup bagus, mudah didapatkan, sdh diproduksi oleh KF, aturan pakai sederhana, umumnya cukup 1x sehari, murah, off paten, efek samping relatif ringan,” tulis sebuah akun menanggapi cuitan Zubairi.
Bahayanya Klorokuin
Sementara itu, satu jenis lainnya, yakni Klorokuin, dinilai Zubairi berbahaya. Padahal, obat ini sudah digunakan oleh ratusan ribu orang.
“Malah berbahaya untuk jantung. Manfaat antivirusnya justru enggak ada. Jadi, klorokuin tidak boleh dipakai lagi, kata Zubairi dalam cuitannya.
Terkait Klorokuin yang sering digunakan sebagai obat anti-Malaria, beberapa tanggapan dari pengguna Twitter pun menyebutkan pernah memiliki pengalaman buruk dengan efek samping yang berpengaruh pada jantung.
Ketiga obat yang tidak direkomendasikan
Terkait jenis obat lainnya, Zubairi menjelaskan bahwa Azithromycin tidak bermanfaat sebagai terapi Covid-19. Sementara, Oseltamivir merupakan obat influenza dan tidak memiliki bukti ilmiah sebagai obat Covid-19.
Zubairi juga menegaskan bahwa terapi plasma konvalesen tidak bermanfaat sama sekali. Apalagi dengan harganya yang mahal dan prosesnya memakan waktu.
"Mungkin saya juga pernah bilang plasma konvalesen bermanfaat, tapi itu tadi yang dibilang evidence based medicine. Di awal-awal kan kita tidak tahu apa-apa, kemudian penelitian makin lengkap. Pada waktu penelitian makin lengkap, saat pengobatan sudah ratusan ribu, ternyata enggak ada gunanya," kata Zubairi dalam cuitannya.