Poin-Poin Krusial Dalam UU Kesehatan yang Baru Disahkan
Ada yang tolak UU Kesehatan dan ajukan judicial review.
Jakarta, FORTUNE – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan Undang-Undang (UU) Kesehatan, pada Selasa (11/7). Regulasi ini berisi sejumlah poin krusial.
Di sisi lain, UU Kesehatan ini menuai sejumlah pro dan kontra, salah satunya dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sebagai organisasi profesi (OP) dokter resmi di Indonesia. Bahkan, IDI berencana mengajukan judicial review pada UU Kesehatan, melalui Mahkamah Konstitusi RI.
Alasan utama pengajuan judicial review ini karena pengesahan UU Kesehatan belum memperhatikan aspirasi dari semua kelompok, sehingga proses penyusunan, pembahasan, sampai pengesahan masih dinilai cacat secara prosedur.
Menelaah isi dari UU Kesehatan yang baru disahkan, penolakan ini juga berkaitan dengan sejumlah poin-poin krusial, sebagai berikut:
1. Alokasi anggaran
UU Kesehatan menghilangkan pasal aturan terkait mandatory spending atau wajib belanja. Dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, besaran yang diatur 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji. Tapi, kini pemerintah dan DPR sepakat untuk menghapusnya.
Pemerintah sebelumnya menilai, penghapusan bertujuan agar alokasi anggaran diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, namun berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah. Dengan demikian, program strategis tertentu di sektor kesehatan bisa berjalan maksimal. Namun, penghilangan pasal itu justru tidak sesuai dengan amanah Deklarasi Abuja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan TAP MP RI X/MPR/2001.
2. Kemudahan izin dokter asing
Menurut pasal 233 UU Kesehatan, "Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah lulus proses evaluasi kompetensi dan akan melakukan praktik di Indonesia haru memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP)."
Meski begitu, jika para dokter dari luar negeri tersebut sudah lulus pendidikan spesialis, maka mereka bisa dikecualikan dari persyaratan tersebut. Hal ini dinilai berbahaya oleh IDI, karena organisasi profesi tersebut tidak bisa mengawasi kualitas dan keabsahan para dokter dari luar negeri yang berstatus spesialis.
Selama ini, dokter wajib mendapatkan rekomendasi dari IDI berupa STR sebelum mengajukan permohonan SIP ke Kementerian Kesehatan.
Selain itu, UU Kesehatan menghapus rekomendasi OP dalam penerbitan SIP. Sementara berdasarkan UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran misalnya, dalam pasal disebutkan syarat menerbitkan SIP ada tiga kondisi, yakni wajib memiliki STR aktif, tempat praktik, dan rekomendasi OP. Namun dalam UU Kesehatan, syarat menerbitkan SIP hanya dua, yakni memiliki STR dan tempat praktik.
3. Pembatasan jumlah OP
Dalam pasal 314 ayat 2 UU Kesehatan, disebutkan bahwa setiap kelompok tenaga medis dan tenaga kesehatan hanya bisa membentuk satu organisasi profesi. Aturan ini dinilai masih belum jelas, karena OP biasanya diterapkan bagi seluruh tenaga kesehatan atau untuk tenaga kesehatan secara spesifik, sesuai spesialisasinya.
4. Posisi Konsil Kedokteran
Sebelumnya, konsil kedokteran bersifat independent dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Namun, dengan hadirnya pasal 239 ayat 2 UU Kesehatan, posisi Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, berada di Kementerian Kesehatan.
"Konsil kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri," begitu bunyi pasal di regulasi tersebut.
5. Kriminalisasi nakes
Pasal 462 dari UU Kesehatan membahas tentang ancaman hukuman bagi tenaga medis atau tenaga kesehatan yang lalai saat bertugas dan menyebabkan kerugian pada pasien sampai dengan kematian.
IDI menilai pasal ini belum memiliki kejelasan serta penjelasan terperinci soal poin kelalaian, sehingga dikhawatirkan memunculkan kriminalisasi kepada para dokter.
"Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun," demikianlah isi Pasal 462 ayat 1. Sementara pada ayat 2 tertulis, "Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kematian, setiap tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun."
6. Data genomik WNI
Poin krusial berikutnya berkenaan dengan data genomik Warga Negara Indonesia (WNI). Pada pasal 340 UU Kesehatan tertulis aturan terkait pengalihan dan penggunaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, atau data ke luar wilayah Indonesia dilakukan dengan memperhatikan prinsip pemeliharaan kekayaan sumber daya hayati dan genetika Indonesia.
Hal ini dinilai rawan, mengingat data pribadi saat ini masih sering bocor dan bisa diperjualbelikan secara terbuka. Meski begitu, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, sudah menjelaskan bahwa pengambilan data tersebut harus atas persetujuan dari pasien atau pendonor. Namun, dalam sejumlah perkara, ternyata soal persetujuan pasien ini bisa dikecualikan.