NEWS

Poin-Poin Krusial Dalam UU Kesehatan yang Baru Disahkan

Ada yang tolak UU Kesehatan dan ajukan judicial review.

Poin-Poin Krusial Dalam UU Kesehatan yang Baru DisahkanPemerintah bersama DPR RI mengesahkan UU Kesehatan, Selasa (11/7). (Dok. Kementerian Kesehatan)
13 July 2023

Jakarta, FORTUNE – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan Undang-Undang (UU) Kesehatan, pada Selasa (11/7). Regulasi ini berisi sejumlah poin krusial.

Di sisi lain, UU Kesehatan ini menuai sejumlah pro dan kontra, salah satunya dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), sebagai organisasi profesi (OP) dokter resmi di Indonesia. Bahkan, IDI berencana mengajukan judicial review pada UU Kesehatan, melalui Mahkamah Konstitusi RI.

Alasan utama pengajuan judicial review ini karena pengesahan UU Kesehatan belum memperhatikan aspirasi dari semua kelompok, sehingga proses penyusunan, pembahasan, sampai pengesahan masih dinilai cacat secara prosedur.

Menelaah isi dari UU Kesehatan yang baru disahkan, penolakan ini juga berkaitan dengan sejumlah poin-poin krusial, sebagai berikut:

1. Alokasi anggaran

UU Kesehatan menghilangkan pasal aturan terkait mandatory spending atau wajib belanja. Dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, besaran yang diatur 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji. Tapi, kini pemerintah dan DPR sepakat untuk menghapusnya.

Pemerintah sebelumnya menilai, penghapusan bertujuan agar alokasi anggaran diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, namun berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah. Dengan demikian, program strategis tertentu di sektor kesehatan bisa berjalan maksimal. Namun, penghilangan pasal itu justru tidak sesuai dengan amanah Deklarasi Abuja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan TAP MP RI X/MPR/2001.

2. Kemudahan izin dokter asing

Menurut pasal 233 UU Kesehatan, "Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah lulus proses evaluasi kompetensi dan akan melakukan praktik di Indonesia haru memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP)."

Meski begitu, jika para dokter dari luar negeri tersebut sudah lulus pendidikan spesialis, maka mereka bisa dikecualikan dari persyaratan tersebut. Hal ini dinilai berbahaya oleh IDI, karena organisasi profesi tersebut tidak bisa mengawasi kualitas dan keabsahan para dokter dari luar negeri yang berstatus spesialis.

Selama ini, dokter wajib mendapatkan rekomendasi dari IDI berupa STR sebelum mengajukan permohonan SIP ke Kementerian Kesehatan.

Selain itu, UU Kesehatan menghapus rekomendasi OP dalam penerbitan SIP. Sementara berdasarkan UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran misalnya, dalam pasal disebutkan syarat menerbitkan SIP ada tiga kondisi, yakni wajib memiliki STR aktif, tempat praktik, dan rekomendasi OP. Namun dalam UU Kesehatan, syarat menerbitkan SIP hanya dua, yakni memiliki STR dan tempat praktik.

Related Topics

    © 2025 Fortune Media IP Limited. All rights reserved. Reproduction in whole or part without written permission is prohibited.