Jakarta, FORTUNE - Pemberantasan judi online (judol) di Indonesia menjadi salah satu fokus utama pemerintah dalam menjaga keamanan digital dan moralitas masyarakat. Judol tersebar luas melalui berbagai platform digital, telah meresahkan banyak pihak karena dampak negatifnya, mulai dari masalah sosial hingga ekonomi.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) periode Juli 2023 – Oktober 2024, Budi Arie Setiadi, menyebut Kominfo sudah memblokir 800.000 situs judol. Menurutnya, pada Januari-Maret 2024 saja, masih ada transaksi judol sebesar Rp100 triliun dan dampaknya meluas di masyarakat.
Riset terbaru dari Inventure 2024 menunjukkan dampak judi online terhadap kelas menengah di Indonesia. Berdasarkan survei ini, terungkap bahwa 14 persen dari kelas menengah pernah terlibat dalam judi online (judol). Dari mereka yang terlibat, 69 persen harus mengurangi pengeluaran rumah tangga untuk digunakan deposit situs judol.
Laporan tersebut juga mengungkapkan bahwa pengeluaran rumah tangga yang paling banyak dipotong oleh mereka yang bermain judol adalah uang rokok (79 persen), uang makan (72 persen), dan uang liburan (72 persen).
“Angka 14 persen ini lumayan tinggi untuk negara sebesar Indonesia dengan populasi top 4 dunia. Sebagai pembanding, di Amerika pengguna judi online sudah menyentuh angka 19 persen. Sehingga kita sudah tidak bisa main-main lagi terhadap judol ini,” ucap Dr. Megawati Simanjuntak, pakar Ilmu Konsumen IPB University dalam konferensi Indonesia Industry Outlook 2025.
Menurut Megawati, tren judol ini merupakan akibat dari ketidakpahaman masyarakat terhadap dampak judi online. Banyak dari pemain ini awalnya hanya niat bermain saja, tapi berujung ketagihan, dan akhirnya sulit untuk keluar dari jeratan karena merasa pernah untung.
“Judi online ini juga mengakibatkan perputaran ekonomi yang tidak jalan. Dana masyarakat banyak yang tersedot tetapi putarannya tidak berbalik,” ujar Zakaria Halim, EVP Mandiri Utama Finance.
Tingginya tren judol ini pun berimbas ke sektor pembiayaan dan perlu ada aspek manajemen risiko untuk menghadapinya.
“Langkah sistematis dan antisipatif perlu dilakukan di industri ini. Kami melakukan scanning calon debitur melalui credit scoring untuk minimalisas risiko,” tambah Zakaria.
Selain dampak finansial terhadap individu dan keluarga, judol juga berdampak pasa penurunan produktivitas, penurunan pendapatan lokal, serta biaya sosial dan kesehatan, ditambah dengan risiko pencucian uang. Suku bunga pinjaman yang ditawarkan sangat tinggi, dan denda yang dikenakan sering kali tidak transparan. Di samping itu, ketakutan akan ancaman akibat tidak melunasi utang tepat waktu serta rasa malu terhadap keluarga dan komunitasnya dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik.