Adu Akal Indonesia dan Singapura dalam Ruang Udara
Singapura punya kepentingan sebagai hub penerbangan.
Jakarta, FORTUNE - Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai Singapura berakal panjang dalam perjanjian penyesuaian ruang kendali udara atau Flight Information Region (FIR) di atas Kepulauan Riau dan Natuna. Sebab, jiran Indonesia tersebut tahu apa yg menjadi kepentingannya dan memiliki fokus dalam mempertahankannya.
“Ketika negara besar seperti Indonesia mempunyai kepentingan yang bersinggungan dengan Singapura, seperti FIR, Singapura pun menggunakan kecerdikannya untuk memastikan kepentingannya tidak terganggu,” katanya kepada Fortune Indonesia, Rabu (2/2).
Sebagai contoh, Hikmahanto menjelaskan Bandara Changi telah lama menjaadi hub bagi penumpang pesawat udara mancanegara. Para penumpang ini tidak bermaksud berkunjung ke Singapura namun bertukar pesawat untuk sampai ke tujuan akhirnya.
“Keberhasilan Singapura menjadikan dirinya sebagai hub penerbangan telah diikuti oleh Dubai. Posisi ini tentu ingin dipertahankan oleh Singapura,” ujar Hikmahanto.
Singapura punya kepentingan
Menurutnya, Singapura mempertahankan kepentingan dengan bermain di level yang sangat terperinci. Ini berbeda dari kebanyakan orang Indonesia yang tidak suka dengan masalah yang sifatnya mendetail.
Dalam negosiasi, ketidakjelian dalam hal-hal kecil berisiko. Hikmahanto berasumsi hal ini telah terjadi dalam perjanjian FIR Indonesia dengan Singapura.
“Boleh saja Indonesia berbangga bahwa pengelolaan FIR telah berhasil diambil alih oleh Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun berjuang. Namun, dalam kenyataannya Singapura masih tetap sebagai pihak pengelola,” ujarnya.
Dalam pengumuman pemerintah disebutkan bahwa di wilayah tertentu di atas kedaultan Indonesia, tanpa menyebutkan secara spesifik, Indonesia hanya mengelola FIR diatas 37.000 kaki. Sementara 0-37.000 kaki didelegasikan ke Otoritas Penerbangan Singapura.
Padahal, kata Hikmahanto, ketinggian 0-37.000 kaki merupakan wilayah yang sangat penting bagi pesawat udara. Sebab, dalam ketinggian ini, pesawat melakukan pendaratan dan lepas landas. Sementara ketinggian di atas 37.000 kaki, pesawat udara hanya melewati ruang udara yang tentu pengelolaannya pun tidak rumit. “Lalu apa bedanya dengan yang selama ini berlangsung?” katanya.
Terkait wilayah yang didelegasikan ke Singapura tersebut, Juru Bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, buka suara. Menurutnya, hanya 29 persen saja yang didelegasikan kepada operator navigasi Singapura, yakni area yang berada di sekitar Bandara Changi.
Pemberian delegasi terhadap Singapura, kata Adita, karena mempertimbangkan keselamatan penerbangan. Bahkan, pada 29 persen area yang didelegasikan tersebut, terdapat wilayah yang tetap dilayani oleh AirNav Indonesia untuk keperluan penerbangan di Bandara Batam dan Tanjung Pinang. Sebagaimana Indonesia juga mengelola pelayanan navigasi penerbangan pada wilayah negara lain, yakni Christmas Island, dan Timor Leste.
"Jalan negosiasi untuk menyesuaikan FIR ini bukanlah jalan mudah dan pendek. Namun kecintaan akan Merah Putih dan kebanggaan akan tanah air Indonesia adalah motivasi utama seluruh pihak yang terlibat dalam negosiasi ini. Kami sangat berharap semua pihak dapat bersama-sama mendukung upaya perjuangan sampai MoU ini efektif dan bisa kita rasakan manfaatnya sebagai bangsa yang berdaulat," kata Adita, Senin (31/1).
Melalui skema dalam perjanjian ini, Indonesia mendelegasikan Pelayanan Jasa Penerbangan secara terbatas (di zona dan ketinggian tertentu kepada otoritas Singapura). Hal ini agar pengawas lalu lintas udara di Singapura, dapat mencegah fragmentasi dan mengkoordinasikan secara efektif lalu lintas pesawat udara yang akan terbang dari dan menuju Singapura di ketinggian tertentu.
Ada gula bagi Indonesia
Selain itu, Hikmahanto menilai Singapura pandai memanfaatkan ancaman menjadi peluang. Sebab, negara kota tersebut juga memberikan pemanis dengan menjanjikan volume investasi yang akan masuk nantinya sebesar US$9,2 miliar.
Padahal, dari perjanjian ini Singapura juga meminta kompensasi Perjanjian Pertahanan atau yang dikenal sebagai Defence Cooperation Agreement (DCA) yang pernah ditandatangani oleh kedua negara pada 2007 dihidupkan kembali. Singapura berharap Perjanjian Pertahanan segera diratifikasi.
“Kini, perjanjian yang sama telah ditandatangani tanpa sedikit pun perubahan. Indonesia seolah lupa pada kehebohan pada tahun 2007,” ungkapnya.Pada tahun tersebut, banyak pihak di Indonesia keberatan. Sampai-sampai presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, urung menerbitkan surat ke DPR untuk dilakukannya pembahasan dan pengesahan Perjanjian Pertahanan tersebut.
Ada rugi dan untung buat Indonesia
Dalam perjanjian FIR dengan Singapura memang diikutkan perjanjian lain, yakni perjanjian pertahanan, dan perjanjian ekstradisi buronan. Ketiga perjanjian ini menjadi satu paket yang harus berjalan secara paralel.
Menurut Hikmahanto, pemaketan seperti itu sangat merugikan bagi Indonesia baik pada 2007 maupun saat ini. Sebab, pertukaran dokumen ratifikasi satu perjanjian akan dikaitkan dengan pertukaran dokumen ratifikasi perjanjian yang lain.
“Dalam konteks demikian, Perjanjian FIR meski sudah disahkan oleh masing-masing parlemen belum dapat berlaku bila tidak dipertukarkan. Singapura tentu akan meminta pertukaran dokumen ratifikasi tidak hanya atas Perjanjian FIR tetapi juga pertukaran dokumen ratifikasi Perjanjian Pertahanan,” katanya.
Bila perjanjian pertahanan nantinya ditentang untuk disahkan, Singapura akan tetap memegang kendali FIR di atas Kepulauan Riau dan Natuna. Artinya perjanjian pengendalian FIR ke Indonesia tidak akan pernah efektif. Konsekuensi ikutannya adalah FIR tidak pernah beralih pengelolaannya ke Indonesia dan tetap dikelola oleh Singapura.
Namun, apabila perjanjian ruang udara ini berhasil diratifikasi dan berlaku efektif, maka seluruh pelayanan navigasi penerbangan dilakukan oleh FIR Jakarta. Indonesia pun memiliki kendali pada delegasi layanan melalui evaluasi operasional.
Kemudian manfaat lain yang bakal didapatkan Indonesia, seperti Pengukuhan internasional terkait kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan dan ruang udara di dalam FIR Jakarta bertambah seluas 249.575 kilometer persegi.
Kedua, ada dukungan operasional dan keamanan pada kegiatan pesawat udara negara seperti TNI, Polri, KKP dan Bea Cukai yang lebih maksimal. Ketiga, terciptanya kerja sama sipil-militer pada air traffic management (Civil-Military Aviation Cooperation) Indonesia dan Singapura serta penempatan personel di Singapore ATC Centre.
Terakhir, peningkatan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) berupa pungutan jasa pelayanan navigasi penerbangan.