Menhub Akui Pro-Kontra dalam Kesepakatan FIR Indonesia-Singapura
Perundingan ruang udara telah dilakukan sejak 1995.
Jakarta, FORTUNE - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengakui terdapat pro dan kontra atas kesepakatan Realignment Flight Information Region (FIR) antara Indonesia dan Singapura. Ia pun terbuka terhadap masukan dan kritik yang disampaikan dari sejumlah kalangan.
Ke depan, dia mengungkapkan akan membentuk tim kecil yang akan melibatkan sejumlah pihak, baik dari para pakar, akademisi, praktisi, dan unsur terkait lainnya untuk melakukan diskusi konstruktif tentang FIR. “Ini dilakukan agar ada suatu pandangan yang sama tentang FIR, dan kami bisa mendapatkan masukan yang positif untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan kedaulatan Indonesia dengan kepentingan keselamatan penerbangan yang sudah diatur dan disepakati oleh aturan internasional,” katanya dalam keterangan tertulis, seperti dikutip pada Senin (7/2).
UIpaya Indonesia untuk mengakhiri status quo ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna, katanya, telah berlangsung sejak 1995, dan digencarkan pada 2015.
“Sejumlah pertemuan secara bilateral dengan Singapura, maupun secara multilateral dengan negara anggota ICAO dan secara internasional, walaupun berjalan alot, tetapi akhirnya bisa memberikan hasil yang baik bagi kedua negara dan juga bagi internasional,” katanya.
Negara lain juga mendelegasikan ruang udaranya
Budi mencontohkan Brunei Darussalam didelegasikan kepada FIR Malaysia, begitu juga Christmas Island di Australia didelegasikan kepada FIR Jakarta. Setidaknya terdapat 55 negara di dunia ini yang melakukan pendelegasian pengelolaan FIR kepada negara lain demi keselamatan penerbangan.
Dengan adanya kesepakatan penyesuaian FIR, kata Budi, pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Hal ini tentu memberikan sejumlah manfaat yang positif bagi Indonesia. Salah satunya yaitu bertambahnya luasan FIR Indonesia sebesar 249.575 kilometer persegi, yang diakui secara internasional sebagai bagian dari FIR Jakarta, yang merupakan salah satu FIR Indonesia selain FIR Ujung Pandang/Makassar.
“Upaya ini tidak kami lakukan sendiri, tetapi berkat upaya bersama dari berbagai Kementerian/Lembaga terkait, di antaranya Kemenkomarinvest, Kemenlu, Kemenhan, TNI, Setneg, Setkab, dan unsur terkait lainnya. Saya menaruh rasa hormat atas diplomasi internasional yang luar biasa yang sudah dilakukan,” ujar Budi.
Kedaulatan udara sangat penting
Sementara itu, Pakar Politik Luar Negeri dan Pertahanan Negara, Connie Rahakunidi Bakrie, mengapresiasi upaya pemerintah Indonesia yang berhasil melakukan kesepakatan penyesuaian FIR dengan Singapura. Ia menjelaskan, FIR berkaitan erat dengan kedaulatan, pertahanan negara yang juga memiliki wilayah ruang udara yang disebut Air Defence Identification Zone (ADIZ).
Ia berharap, pemerintah dapat membuka ruang diskusi khususnya terkait masih adanya pendelegasian sebagian kecil ruang udara kepada Singapura. “Seharusnya kita bisa mengelola secara penuh seluruh FIR yang ada, karena kedaulatan di ruang udara sangat penting,” ujarnya.
Tetap ada petugas Indonesia di ATC Singapura
Dirjen Perhubungan Udara Novie Riyanto pun menjawab pertanyaan dari sejumlah kalangan terkait wilayah udara yang masih didelegasikan pelayanannya kepada Air traffic control (ATC) Singapura. Dia mengatakan, hal tersebut semata-mata dilakukan demi keselamatan, agar tidak terjadi fragmentasi atau gangguan frekuensi yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan.
Walaupun didelegasikan, Novie mengatakan, akan ditempatkan petugas ATC Indonesia di ATC Singapura, sehingga Indonesia masih memiliki andil besar untuk mengatur lalu lintas khususnya untuk pesawat Indonesia.
“Dengan adanya penyesuaian ini, yang tadinya pergerakan pesawat yang melintas di atas Kepri dan Natuna tidak dikenakan biaya (charge), ke depannya bisa mendatangkan pendapatan bagi Indonesia. Hal ini bisa meningkatkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Indonesia, yang bisa digunakan untuk investasi pengembangan SDM dan peralatan navigasi penerbangan Indonesia,” ujar Novie.