Realisasi KUR Zaman Jokowi Capai Rp1.793 Triliun, 93% Buat Modal Kerja
Sektor UMKM masih menjadi tulang punggung ekonomi RI.
Fortune Recap
- Realisasi penyaluran KUR mencapai Rp1.793 triliun kepada 48 juta debitur, 93% untuk modal kerja, 6% untuk investasi, dan 1% untuk keperluan lainnya.
- Capaian KUR triwulan I-2024 menunjukkan peningkatan kualitas KUR dari sisi jumlah debitur baru, graduasi, dan penyaluran pada sektor produksi.
Jakarta, FORTUNE - Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) mengungkap capaian kinerja 10 tahun program strategis pengembangan usaha mikro pada kepemimpinan Presiden Joko "Jokowi" Widodo.
Realisasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada 2015 hingga 30 September 2024 (triwulan III-2024) mencapai Rp1.793 triliun, yang disalurkan kepada 48 juta debitur.
Dari hasil pemantauan dan evaluasi hasil KUR, sebesar 93 persen debitur KUR digunakan untuk modal kerja, 6 persen digunakan untuk investasi, dan 1 persen digunakan untuk keperluan lainnya.
“KUR menawarkan suku bunga yang rendah dan syarat yang lebih mudah, sehingga pelaku usaha dapat memanfaatkan kredit tersebut untuk pengembangan usaha, peningkatan produksi, dan penciptaan lapangan kerja,” kata Deputi Bidang Usaha Mikro Kemenkop UKM, Yulius, dalam keterangannya, Rabu (8/10).
Terkait legalitas usaha mikro, tercatat Surat Izin Usaha 71,8 persen masih mengajukan kreditnya memakai Surat Keterangan Usaha (SKU), sekitar 27,3 persen memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dan 0,9 persen memiliki PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga).
Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan oleh Kemenko Bidang Perekonomian, capaian KUR pada triwulan I-2024, terjadi peningkatan kualitas KUR dari sisi jumlah debitur baru, debitur yang mengalami graduasi, dan penyaluran KUR pada sektor produksi.
“Tercatat, capaian debitur baru sebesar 90,74 persen. Debitur KUR yang mengalami graduasi ke skema pembiayaan yang lebih tinggi sebesar 18,76 persen, dan penyaluran KUR di sektor produksi sebesar 55 persen,” ujar Yulius.
Selanjutnya, realisasi pembayaran subsidi bunga KUR periode 2015–30 September 2024 sebesar Rp163 trilun.
10 juta usaha mikro sudah punya NIB
Dari sisi formalisasi legalitas usaha, berdasarkan data OSS BKPM September 2024, sebanyak 10 juta pelaku usaha mikro telah terdaftar dalam Nomor Induk Berusaha (NIB).
“Di tahun 2021 hingga 2024, telah difasilifasi pendampingan NIB dan sertifikasi produk oleh Deputi Usaha Mikro kepada 662.516 usaha mikro,” ujarnya.
Lalu Pengembangan Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT-KUMKM), sampai 2024 telah dibangun 107 PLUT KUMKM di 26 provinsi, 81 kabupaten/kota.
Capaian tersebut, terdiri dari PLUT lama sebanyak 74 unit, DAK Fisik 2022 sebanyak 13 unit, DAK Fisik 2023 sebanyak 13 unit, dan DAK Fisik 2024 sebanyak 7 unit masih dalam proses pembangunan.
Yulius mengatakan bahwa dalam mendukung optimalisasi salah satu layanan PLUT-KUMKM, pada 2023- 2024 telah disediakan layanan pengembangan kemasan di 31 lokasi (5 provinsi, 26 kabupaten/kota) yang dikelola oleh PLUT-KUMKM/koperasi.
“Tahun 2023 tersebar di 13 lokasi, dan tahun 2024 tersebar di 18 lokasi. Ada yang dalam proses pengadaan dan pecah DIPA tahap 2 untuk 8 lokasi,” ujarnya.
Hambatan pelaku usaha mikro
Yulius mengatakan pihaknya terus mendorong pertumbuhan bisnis Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), yang telah berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Dukungan pun diberikan, mulai dari kemudahan akses permodalan, pemasaran, legalitas hingga pemanfaatan teknologi.
“Walaupun skala usahanya kecil, tetapi kontribusinya cukup besar bagi perekonomian. Usaha mikro juga melakukan penyerapan tenaga kerja, dan ekonomi digital yang cukup besar,” ujarnya.
Dia menegaskan transformasi usaha mikro menjadi penting karena secara jumlah, usaha mikro mencapai 99 persen alias menempati porsi terbesar dalam struktur pelaku usaha nasional dan telah berkontribusi terhadap perekonomian nasional.
Namun, dia mengakui mereka masih menghadapi hambatan dalam pengembangan usahanya. Mulai dari akses permodalan, aspek pemasaran, pemanfaatan teknologi dan digitalisasi, bahan baku, pemenuhan legalitas dan sertifikasi usaha, serta kapabilitas SDM (Sumber Daya Manusia) dalam pengelolaan bisnisnya.
“Kondisi ini berimbas pada belum optimalnya kemampuan beradaptasi dan daya saingnya dalam dinamika lingkungan bisnis dan perubahan teknologi yang cepat,” kata Yulius.