Tanggapi Bank Dunia, Menperin: Restriksi Impor Tak Selalu Salah
Bank Dunia menyebut restriksi jadi ganjalan ekonomi.
Fortune Recap
- Menteri Perindustrian tanggapi pernyataan Chief Economist Bank Dunia terkait dampak kebijakan restriksi impor terhadap sektor manufaktur Indonesia.
- Agus Gumiwang Kartasasmita menilai pandangan tersebut tidak sepenuhnya tepat, restriksi impor merupakan langkah melindungi industri dalam negeri dari tekanan produk impor jadi.
- Restriksi impor pada produk jadi membantu memperkuat sektor manufaktur domestik, membuat sektor manufaktur menjadi game changer di saat pasar global melemah.
Jakarta, FORTUNE - Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menanggapi pernyataan dari Chief Economist Bank Dunia untuk Kawasan Asia Pasifik, Aaditya Mattoo, yang menyoroti dampak kebijakan restriksi impor terhadap kinerja sektor Manufaktur Indonesia.
Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, Mattoo sebelumnya mengungkapkan bahwa kebijakan restriksi impor yang ketat masih menghambat pertumbuhan sektor manufaktur, terutama ketika harga komoditas global seperti batu bara dan minyak kelapa sawit mengalami penurunan.
Agus menilai bahwa pandangan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Menurutnya, kebijakan restriksi impor yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia merupakan langkah afirmatif untuk melindungi industri dalam negeri dari tekanan produk impor jadi.
"Restriksi impor tidak melulu salah, ini adalah bagian dari langkah melindungi industri lokal. Kami tidak pernah memberlakukan restriksi impor bahan baku karena justru bahan baku penting untuk meningkatkan daya saing industri kita," kata Agus dalam keterangannya, Kamis (10/10).
Ia juga menjelaskan bahwa restriksi impor pada produk jadi membantu memperkuat sektor manufaktur domestik. Selama pandemi Covid-19 dan konflik global, pasar domestik yang didominasi oleh produk manufaktur lokal menjadi penopang utama perekonomian Indonesia.
"Kebijakan ini terbukti mampu membuat sektor manufaktur menjadi game changer di saat pasar global melemah," ujarnya.
Ia enekankan bahwa tujuan kebijakan ini tidak hanya untuk melindungi industri dalam negeri tetapi juga untuk meningkatkan daya saing mereka di pasar global. “Negara lain pun memperketat masuknya produk impor, masa kita malah melonggarkannya? Kita harus melindungi industri kita," ujarnya.
Dampak hilirisasi kelapa sawit
Selain itu, Agus menyinggung hilirisasi komoditas kelapa sawit yang telah mengurangi ketergantungan Indonesia pada fluktuasi harga komoditas dunia. Hilirisasi kelapa sawit yang dicanangkan pemerintah berhasil mengembangkan produk turunan kelapa sawit dari 48 jenis pada tahun 2011 menjadi 200 jenis pada tahun 2024.
"Fluktuasi harga minyak kelapa sawit memang berpengaruh, tetapi tidak terlalu signifikan karena hilirisasi yang kita lakukan sudah sangat dalam," ujarnya.
Indonesia menjadi negara pertama yang mengimplementasikan B30 dan akan terus mendorong implementasi B40, dengan harapan mencapai B100 di masa mendatang. Nilai ekspor kelapa sawit pada 2023 mencapai US$28,45 miliar, atau sekitar 11,6 persen dari total ekspor nonmigas.
Agus menambahkan, sektor industri pengolahan kelapa sawit dan turunannya telah memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB nasional. Pada Triwulan II 2024, sektor ini menyumbang 3,5 persen dari total PDB nasional atau sekitar Rp193 triliun.
"Dengan kontribusi ekonomi yang besar dan penyerapan tenaga kerja yang mencapai 16,2 juta orang, hilirisasi kelapa sawit telah menjadi bagian penting dari upaya Indonesia untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah," ujar Agus.
Agus juga menyoroti pentingnya sinergi dengan para pemangku kepentingan untuk memastikan industri nasional dapat terus tumbuh dan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
"Dengan penyusunan kebijakan yang tepat, penguatan rantai pasok, dan pengembangan riset serta teknologi, sektor industri kita akan mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi yang inklusif, produktif, dan berkelanjutan," ujarnya.
Bank Dunia potensi yang jadi ganjalan pertumbuhan RI
Sebelumnya, Chief Economist Bank Dunia untuk Kawasan Asia Pasifik Aaditya Mattoo dalam konferensi pers secara daring, Selasa (8/10), menyebut untuk jangka menengah dan panjang, kondisi industri manufaktur dan perdagangan Indonesia yang dinilai masih kurang berdaya saing dibandingkan dengan negara lain di kawasan.
Mattoo mengatakan, salah satu risiko ekonomi yang bisa menahan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah proyeksi melandainya harga sejumlah komoditas sebagai penopang ekspor Indonesia. Dinamika kondisi ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada fluktuasi siklus harga komoditas dunia, khususnya batubara dan minyak kelapa sawit.
Di sisi lain, industri manufaktur Indonesia belum cukup kuat untuk menopang perekonomian Indonesia di saat siklus harga komoditas melandai. Menurut Mattoo, salah satu penyebabnya adalah kebijakan restriksi impor yang masih cukup ketat untuk beberapa komoditas dan produk.
“Indonesia pernah mengalami pertumbuhan sektor manufaktur yang signifikan di masa lalu. Namun, hari-hari ini, produk manufaktur Indonesia semakin termarjinalkan dari rantai pasok dunia dan perdagangan global,” ujar Mattoo.