Jakarta, FORTUNE - Tren ekonomi rendah karbon yang tengah berkembang di berbagai negara mendorong banyak perusahaan untuk mulai menerapkan prinsip-prinsip ESG dalam operasinya. Tak hanya bagi perusahaan, kaidah yang akronimnya berdiri untuk lingkungan (Environment), sosial (Social), dan tata kelola (Governance) itu juga mulai jadi perhatian investor di pasar saham.
Laporan Bloomberg Intelligence (BI) pada Januari 2022 mencatat, assets under management (AUM) ESG global pada 2020 mencapai US$35 triliun pada 2020–sepertiga dari total aset global yang dikelola manajer investasi.
Angka tersebut juga menunjukkan kenaikan signifikan secara tahunan, antara lain jika dibandingkan US$30,6 triliun pada 2018 dan US$22,8 triliun pada 2016. Dengan asumsi pertumbuhan tahunan sebesar 15 persen, Bloomberg Intelligence memprediksi total aset ESG dapat melebihi US$41 triliun pada tahun ini dan US$50 triliun pada 2025 mendatang.
Lantas, apa itu ESG?
Di tataran ideal, prinsip ESG adalah refleksi mini dari konsep SDGs (Sustainable Development Goals) atawa tujuan pembangunan berkelanjutan. ESG menyederhanakan 17 poin SDGs rumusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan dasar tersebut, perusahaan—idealnya—melahirkan kebijakan yang kelak berpengaruh pada kelangsungan lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST)
Ketiga faktor ini juga digunakan untuk mengukur keberlanjutan dan dampak etis dari hasil investasi dalam bisnis atau perusahaan. Investasi hanya dilakukan pada perusahaan atau bisnis yang tidak mengakibatkan kerugian, atau lebih bagus lagi memberikan dampak positif, pada lingkungan dan masyarakat sekitar.
Memang, selama ini perusahaan yang peduli lingkungan dan sosial kerap dinilai berdasarkan program corporate social responsibility (CSR)-nya. Namun, kini hal tersebut tak lagi terlalu berpengaruh. Sebab, penilaian ESG memberi bobot pada perusahaan yang mengadopsi dan mengintegrasikan kepedulian itu pada model bisnis dan praktik operasionalnya
Bagi investor, ESG dianggap penting untuk untuk menyaring atau mengevaluasi perusahaan yang peduli dengan tiga hal mendasar tersebut. Di sisi lain, kesadaran pasar atas pentingnya penerapan prinsip ESG juga menjadi pertimbangan investor untuk mengukur kinerja keuangan masa depan perusahaan yang mereka modali.
Pemilihan saham ESG
Riki Frindos, Direktur Eksekutif Yayasan Kehati, menyebut bahwa investasi ESG mengisi gap antara investasi tradisional yang bertumpu pada return dan aktivitas filantropi yang berorientasi pada dampak. Dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip ESG, kata dia, investor dapat melakukan investasi berkelanjutan dan sangat mungkin memperoleh return yang optimal.
“Kalau perusahaan memiliki kinerja ESG yang baik, maka kinerja harga saham, finansial mereka, profit mereka, arus kas mereka, very most likely akan positif atau at least netral,” ujarnya dalam webinar Sustainable Investing for a Better Future beberapa waktu lalu.
Yayasan Kehati sendiri merupakan lembaga yang bertujuan melestarikan, mengelola dan memanfaatkan keanekaragaman hayati Indonesia secara berkelanjutan melalui berbagai cara inovatif. Salah satunya,melalui kerja sama bekerja dengan manajer investasi di Indonesia untuk merilis reksadana maupun ETF berbasis ESG. Per Desember 2021, tercatat ada 11 manajer investasi yang berkolaborasi dengan yayasan tersebut dengan total dana kelolaan lebih dari Rp2,7 triliun.
Kehati juga bermitra dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk menerbitkan indeks-indeks saham bertema ESG, antara lain IDX ESG Leaders, indeks saham Sustainable and Responsible Investment (SRI) Kehati, ESG Sector Leaders IDX Kehati, dan Indeks ESG Quality 45 IDX Kehati.
Riki menjelaskan bahwa pemilihan konstituen indeks-indeks tersebut dilakukan dengan membaginya ke dalam dua kategori, yakni greening finance dan financing green. Pada yang disebutkan pertama, Yayasan Kehati mengkategorikannya sebagai perusahaan atau emiten yang tak merugikan lingkungan maupun sosial. Strategi seleksinya dilakukan dengan cara negative screening, best in class dan ESG integration.
Negative screening dilakukan dengan cara mengecualikan perusahaan-perusahaan yang tidak kompatibel dengan nilai-nilai Kehati seperti tembakau, persenjataan, berkaitan dengan pornografi, alkohol, pertambangan batu bara, nuklir, unsur perjudian, pestisida, dan yang berkaitan dengan produk rekayasa genetik. Sebaliknya, strategi best class dilakukan dengan cara memilih perusahaan berdasarkan faktor-faktor positifnya seperti kinerja keuangan dan praktik-praktik ESG yang diterapkan.
”Strategi ESG integration kami memilih faktor ESG yang relevan untuk masing-masing perusahaan. Kemudian kami melakukan penyesuaian, misalnya apakah marginnya akan terpengaruh dengan praktek lingkungan, atau misalnya dia punya risiko dengan faktor sosial terkait komunitasnya itu valuasinya akan kita turunkan,” jelas Riki.
Sedangkan untuk kategori do good, atau perusahaan yang ingin memberikan dampak positif terhadap lingkungan, seleksinya dilakukan dengan strategi sustainability linked, sustainability themed/targeted dan impact investment.
“Di sini kita memastikan perusahaan yang diinvestasikan memberikan kontribusi langsung terhadap isu ESG. Kami menargetkan dana pada bisnis yang men-generate spesifik program lingkungan atau sosial,” tutur pria yang juga menjabat sebagai komisaris independen MMI tersebut. “Misalnya kami berinvestasi salah satunya untuk energi atau berinvestasi di perusahaan startup yang memiliki target-target sosial dan lingkungan tertentu
Timbal balik portofolio investasi dengan ESG
Dalam sebuah tulisannya, Riki Frindos juga menjelaskan bahwa ada dua perspektif mengenai keterkaitan ESG dan investasi, yaitu perspektif “impact of portfolio” dan “impact on portfolio.”
Impact of portfolio memandang bagaimana investasi memberikan dampak, terutama dampak negatif, pada lingkungan dan masyarakat. Investasi berkelanjutan pada awalnya menggunakan cara pandang ini, dan sebagian besar masyarakat, regulator, atau NGO melihat dari perspektif ini. Tujuannya adalah agar investasi dan bisnis tidak merugikan masyarakat, tidak merusak lingkungan.
Sementara impact on portfolio melihat sebaliknya, yakni bagaimana isu-isu lingkungan dan sosial memberikan dampak, positif atau negatif, pada portofolio investasi. Misalnya, jika perusahaan tidak mempedulikan dampak polusi, maka pada akhirnya ini akan memberikan konsekuensi finansial pada perusahaan, baik dari masyarakat, regulator, konsumen, atau perubahan lanskap bisnis.
Tidak hanya risiko, perusahaan yang menerapkan ESG juga beroleh kesempatan. Emiten energi yang menyelaraskan bisnisnya dengan tren perubahan iklim, misalnya, akan mengambil kesempatan untuk berinvestasi di bidang renewable energy dan mengurangi bisnis batu bara, karena bahan bakar ini kelak akan ditinggalkan konsumen, dan dibatasi regulator.
Pendekatan kedua ini lah menurut Riki yang membuat investasi ESG makin marak, yaitu investor ingin menghindari risiko serta mencari kesempatan dari faktor-faktor ESG. Ini juga dapat disebut sebagai fiduciary duty, atau tanggung jawab investor atau fund manager kepada pemilik dana yang dikelolanya.
Dapat disimpulkan, kedua pendekatan yang datang dari arah berbeda ini bertemu di tengah. "Dengan kata lain, if you do not harm the environment and society, if you do good to the environment and society, they will somehow reward you," tandasnya.