Chevron dan Pertamina Jajaki Peluang Bisnis Rendah Karbon
Pertamina miliki 1887 MW pembangkit panas bumi.
Jakarta, FORTUNE - Chevron New Ventures Pte. Ltd. (Chevron) dan PT Pertamina (Persero) mengumumkan kerja sama untuk menjajaki potensi peluang bisnis rendah karbon di Indonesia melalui teknologi panas bumi baru (novel geothermal); penyeimbangan karbon (carbon offsets); penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon (CCUS); serta pengembangan, produksi, penyimpanan, dan transportasi hidrogen dengan rendah karbon.
Presiden Chevron New Energies Jeff Gustavson mengatakan, kerja sama yang merupakan tindak lanjut dari penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) di Washington, DC bertujuan untuk melayani konsumen di Indonesia dan potensi konsumen regional.
"MoU ini menunjukkan komitmen Chevron dan Pertamina untuk terus mengidentifikasi peluang rendah karbon melalui kolaborasi dan kemitraan antara Chevron, perusahaan energi nasional, dan pemerintah, yang masing-masing memiliki kepentingan bersama dalam mendorong transisi energi nasional,” ungkapnya dalam keterangan resmi, dikutip Jumat (13/5).
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan kerja sama tersebut juga merupakan bagian dari upaya mendukung target net zero emission Indonesia pada 2060. Pertamina sendiri berusaha meningkatkan bauran energi terbarukan dari 9,2 persen pada tahun 2019 menjadi 17,7 persen di tahun 2030.
"Kemitraan ini merupakan langkah strategis bagi Pertamina dan Chevron untuk saling melengkapi kekuatan masing-masing, serta mengembangkan proyek dan solusi energi rendah karbon untuk mendorong kemandirian dan ketahanan energi dalam negeri,” ujarnya.
Potensi panas bumi
Nicke menuturkan, melalui Subholding Power & NRE, Pertamina memiliki total kapasitas terpasang Geothermal mencapai 1.877 MW yang berasal dari 13 area kerja Geothermal. Dari total tersebut 672 MW di antaranya berasal dari area kerja yang dioperasikan sendiri, sementara 1.205 MW lainnya merupakan kontrak operasi bersama (joint operation contract/JOC).
Area kerja yang dioperasikan sendiri mencakup Area Sibayak 12 MW, Area Lumut Balai 55 MW, Area Ulubelu 220 MW, Area Kamojang 235 MW, Area Karaha 30 MW, dan Area Lahendong 120 MW.
Selain itu, Pertamina juga melakukan diversifikasi pengembangan geothermal, antara lain yang saat ini tengah berjalan sebagai pilot project adalah green hydrogen yang dikembangkan di Area Ulubelu dengan target produksi 100 kg per hari dan brines to power yang dikembangkan di Area Lahendong serta memiliki potensi kapasitas 200 MW dari beberapa area kerja lainnya.
Nicke menambahkan, bekerjasama dengan berbagai pihak, Pertamina juga tengah mengembangkan penerapan Carbon Capture and Storage (CCS) dan CCUS sebagai salah satu strategi mengurangi emisi karbon di dua lapangan migas yakni Gundih dan Sukowati. "Pertamina sedang mengkaji komersialisasi penerapan teknologi CCUS di wilayah Sumatera," ucapnya.
Pemerintah Indonesia sendiri sudah memiliki peta jalan transisi energi yang tertuang dalam Grand Strategy Energi Nasional. Dalam peta jalan tersebut, penggunaan energi terbarukan ditargetkan mencapai 23 persen pada tahun 2025 .
Adapun pemerintah menyadari pentingnya pendekatan yang bersifat kolaboratif untuk mencapai tujuan rendah karbon.
“Tentunya, upaya untuk meningkatkan proyek energi rendah karbon tidak bisa dilakukan sendiri. Kami harap perusahaan minyak dan gas kelas dunia, seperti Pertamina dan Chevron, dapat bermitra untuk memangkas emisi karbon dan mendorong transisi energi sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Pemerintah Indonesia,” sebut Luhut B. Pandjaitan.