Indonesia Siapkan Percontohan Transisi Energi untuk G20
Pendanaan transisi energi jangan bebankan APBN.
Jakarta, FORTUNE - Indonesia tengah menyiapkan pilot projet pendanaan untuk transisi energi jelang gelaran G20 tahun depan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pendanaan itu akan jadi salah satu proyek percontohan yang dibawa Indonesia saat memimpin Presidensi G20.
“Transisi energi menjadi salah salah satu yang akan jadi pilot project atau light house. Kita harus siapkan paket (pendanaan) bagaimana mempensiunkan PLTU,” ujarnya dalam acara Kompas 100 CEO Forum ke-12 secara daring, Kamis (18/11).
Menurut Airlangga paket pendaan tersebut tengah dibahas bersama Asian Development Bank (ADB) sebagai bentuk remunerasi premium untuk melakukan pensiun dini pada PLTU. Dengan demikian, maka investor yang beralih dari pembangkit listrik tenaga batu bara ke pembangkit energi baru terbarukan dapat memiliki kepastian atas pengembalian modal.
"Di mana case PLTU dipensiunkan dan funding masuk menggantikan Internal Rate of Return (IRR) sisanya. Karena kalau usia tinggal berapa, pensiun minimal berapa, kalau di funding maka dipakai untuk investasi renewable dan diharapkan Indonesia bisa buat prototipe” ujar Airlangga.
Jika prototipe tersebut berhasil, lanjutnya, maka akan dilanjutkan dengan replikasi menjadi model suistainable payment untuk transisi energi di Indonesia. "Diharapkan Indonesia bisa buat prototipe dengan dana yang masuk. Kalau ini berhasil kita duplikasi," terangnya.
Ketua umum partai Golkar itu juga menjelaskan bahwa input utama dari daya saing ekonomi Indonesia adalah energi. Namun, selama ini base load atau beban dasar bauran energi Indonesia disediakan oleh PLTU.
Sebenarnya, bisa saja beban dasar tersebut dialihkan dari PLTU ke pembangkit EBT seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Namun hal tersebut baru dikembangkan di Kalimantan. Padahal permintaan listriknya terbesar justru berasal dari Jawa.
“Demand terbesar di Jawa, kalau kita bangun pembangkit tenaga hydro di Kalimantan Utara atau Mambaro jauh dari Jawa. Sehingga yang perlu dilakukan harus membuat penyangga untuk itu yang salah satunya membangun jaringan transmisi,” ungkapnya.
Transisi Jangan Bebani APBN
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa pemerintah terus berupaya memobilisasi pendanaan transisi energi dengan berbagai kebijakan. Hal ini penting sebab seluruh pendanaan untuk proyek energi baru terbarukan tak bisa hanya mengandalkan APBN.
Sementara di saat bersamaan kebutuhan listrik akan terus meningkat di masa mendatang. Jika Indonesia harus mempensiunkan dini PLTU yang telah beroperasi, maka harus ada pembangkit EBT yang dapat menggantikan sekaligus pembangkit tambahan untuk mensuplai kebutuhan listrik yang terus meningkat.
"Kita harus mengganti yang dipensiunkan karena permintaan akan listrik naik. Kalau mobil mayoritas berubah jadi listrik, rumah tangga kompor berubah jadi listrik, demand akan naik. Bukan turun. Berarti kita harus membangun menggantikan yang dipensiunkan ditambah menambah demand baru. Makannya kami membutuhkan pendanaan," katanya.
Di sisi lain, pemerintah juga tak bisa serta merta mempensiunkan PLTU yang sedang beroperasi karena mereka PLN dan para produsen listrik swasta terikat kontrak power purchase agreement (PPA) dengan skema take or pay. Artinya, PLN harus membayar para produsen listrik tersebut sampai masa kontraknya berakhir jika PLTU mereka ditutup lebih awal.
"Untuk pensiunkan, kan, tidak bisa bilang kamu harus tutup selesai. Karena PLN harus take or pay. Kalau saya punya kontrak sampai 2030 tapi PLN bilang berhenti di 2015, PLN harus bayar dari 2015 sampai 2030. Ini lah negosiasi yang sekarang harus diestablish. Retirement tidak berarti free. Ada ongkos yang harus dikeluarkan," jelasnya.
Hal ini pula yang menjadi fokus negara-negara berkembang dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (COP26) di Glasgow saat banyak negara mendorong penghentian penggunaan pembangkit listrik batu bara lebih cepat.
"Bersama lembaga multilateral terutama di Glasgow, saya mengartikulasikan sangat keras. Kita mau saja karena kita tahu climate change itu persoalan global. Tapi hitungan uang juga harus diomongkan secara eksplisit. Who's going to pay for what. Ini yang menjadi perjuangan kita di dalam negeri, membuat policy yang jalan tapi juga jangan semua dibebankan pada tax payer kita," ujarnya.
Lagi pula, menurut Bendahara Negara, selama ini emisi karbon lebih banyak berasal dari negara maju yang lebih awal memulai industrialisasi ketimbang negara berkembang.
"Karena memang banyak CO2 diproduksi negara maju. Apakah pajak bisa digunakan? Tentu kita gunakan semua instrumen (fiskal). Pajak, subsidi. Pajak ada tax holiday dan tax allowance. Juga ada subsidi dan kompensasi termasuk investasi injeksi langsung ke PLN," tuturnya.