Pajak Karbon Bakal Diundur dari April ke Juli 2022, Ada Apa?
Pemerintah siapkan Perpres penerapan pajak karbon.
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah mengundur tanggal penerapan pajak karbon dari semula April menjadi Juli 2022. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan penundaan pungutan pajak itu disebabkan pemerintah masih perlu menyelaraskan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dengan Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon.
"Kami melihat ruang menunda penerapan pajak karbon, semula 1 April 2022, kita tunda ke Juli 2022,” ujar Febrio Kacaribu dalam Konferensi Pers APBN KiTa yang dipantau di Jakarta, Senin.
Nantinya, kata Febrio, penyelarasan kedua beleid tersebut bakal tertuang dalam Peraturan Presiden. Sehingga penerapan pajak karbon diharapkan bakal berjalan efektif dan melengkapi serangkaian kebijakan Indonesia untuk mengendalikan perubahan iklim.
"Dalam Perpres ini juga ada pokok-pokok pengaturan tentang pasar karbon dan kami ingin mengkoneksikan keduanya secara konsisten antara satu dengan yang lain, sehingga peraturan perundangan makin komprehensif,” kata Febrio.
Selain itu, lanjut Febrio, pemerintah juga masih berfokus pada pemenuhan kebutuhan masyarakat demi menjaga daya beli menjelang Ramadan dan Idulfitri.
Apalagi, saat ini kondisi geopolitik terutama konflik antara Rusia dan Ukraina telah harga komoditas dunia. Jika pajak karbon diterapkan, ada kekhawatiran bahwa harga yang diterima konsumen menjadi lebih mahal.
"Kami akan pastikan suplai terjaga sehingga harga dan daya beli masyarakat, khususnya dalam menghadapi Ramahan dan Idulfitri tetap terjaga. Fokus kami pastikan kesejahteraan dan daya beli,” jelasnya.
Rencana awal
Sebagai informasi, sebelumnya pemerintah berencana memulai perdagangan karbon dengan skema cap, trade and tax untuk PLTU berkapasitas di atas 100 MW pada April mendatang. Untuk melaksanakan hal tersebut, kementerian ESDM bakal menetapkan batas atas emisi (BAE) gas rumah kaca untuk pembangkit listrik batu bara tersebut lewat Peraturan Menteri.
Nantinya PLTU yang emisi tahunannya melebihi batas atas yang ditetapkan akan dikenakan pajak sebesar US$2 per ton. Jika tak ingin terkena pajak, mereka perlu melakukan offset dengan membeli kredit karbon dari pihak lain yang emisinya di bawah ambang batas (surplus).
Cara lain yang bisa juga dilakukan untuk offset karbon adalah dengan membuat pembangkit energi baru terbarukan atau menjalankan proyek penyerapan karbon baik berupa restorasi hutan, gambut atau mangrove.
Dengan adanya Perpres tentang Nilai Ekonomi Karbon, skema itu dikombinasikan menjadi cap, trade and tax. Berdasarkan uji coba yang telah dilakukan, pemerintah memutuskan skema perdagangan dan pajak karbon dilakukan secara bertahap berdasarkan kapasitas pembangkitnya.
Misalnya, PLTU dengan kapasitas di atas 400 MW ditetapkan cap sebesar 0,918 ton per megawatt hour (MWh). PLTU dengan kapasitas 100–400 MW dikenakan nilai batasan emisi 1,013 ton CO2 per MWh. Terakhir, PLTU Mulut Tambang 100–400 MW dengan nilai cap mencapai 1,94 ton CO2 per MWh.
Selain itu, ada pula kemungkinan perluasan kelompok untuk PLTU berkapasitas di bawah 100 MW serta 400 MW hingga 1.000 MW.