Proporsi Energi Surya dan Angin Indonesia di Bawah Rata-rata Asean
Indonesia punya peran penting turunkan emisi di Asean.
Jakarta, FORTUNE - Persentase penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan angin (PLTB) di Indonesia paling rendah dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara. Laporan bertajuk Unleashing Solar and Winds in Asean yang dirilis EMBER, lembaga think tank energi berbasis di London, Inggris, menunjukkan proporsi energi surya dan angin di Indonesia hanya 0,2 persen dalam bauran energi nasional.
Angka tersebut jauh di bawah rata-rata Asean yang sebesar 4 persen dan global yang mencapai 10 persen. Bahkan, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, pangsa pembangkitan listrik dua jenis EBT tersebut akan menjadi yang terendah di Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Analis Kelistrikan Asia EMBER, Achmed Edianto, mengatakan pemerintah harus memaksimalkan energi matahari dan angin, seperti yang dilakukan oleh Cina, India, dan sebagian besar negara-negara di dunia. Pasalnya, harga bahan bakar fosil diprediksi akan terus melambung tinggi, sementara harga energi surya dan angin tetap rendah dan menyediakan energi lokal yang terjangkau.
“Energi surya dan angin mulai berkembang di seluruh Asia Tenggara, tetapi target yang lebih agresif dan eksekusi yang tepat waktu diperlukan untuk memanfaatkan potensi yang besar. Pemerintah perlu meninjau ulang rencana energi 2030," ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (7/7).
Peran penting Indonesia turunkan emisi di Asean
Sebagai catatan, dalam RUPTL PLN 2021-2030, pemerintah berencana menambah 4,68 GW kapasitas tenaga surya dan 0,6 GW tenaga angin pada 2030. Dengan proyeksi laju pertumbuhan permintaan listrik Indonesia yang mencapai 4,9 persen per tahun, EMBER menaksir RUPTL PLN hanya memberikan ruang PLTS dan PLTB untuk menyuplai 5 persen dari peningkatan permintaan listrik tersebut.
Padahal kontribusi Indonesia serta Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam—atau 'Asean 5'—sangat penting untuk mewujudkan transisi energi bersih dan mencapai tujuan iklim Asia Tenggara. Sebab, di antara 10 negara anggota Asean, lima negara ini menyumbang 89 persen dari total pembangkitan listrik.
Di sisi lain, energi surya dan angin juga telah diproyeksikan bakal menjadi tulang punggung sistem kelistrikan dunia di masa depan.Laporan Net Zero IEA, misalnya, menunjukkan 40 persen pasokan listrik global harus berasal dari surya dan angin pada 2030.
Analis Data Kelistrikan Asia EMBER, Uni Lee, mengatakan di bawah kebijakan saat ini, energi surya dan angin diproyeksikan hanya memasok sepersepuluh dari total pembangkit listrik pada 2030. Angka tersebut menurutnya tidak cukup untuk memenuhi permintaan yang bertambah pesat. "Peningkatan penggunaan energi surya dan angin, serta modernisasi jaringan (grid) secara cepat akan menjadi bagian penting dari teka-teki untuk memecahkan krisis iklim," ujarnya.