Sistem Proporsional Tertutup: Pengertian, Kelebihan dan Kekurangannya
Sistem proporsional tertutup diusulkan PDI Perjuangan.
Jakarta, FORTUNE - Sistem Pemilu proporsional tertutup jadi bahan perdebatan para politikus dalam beberapa hari belakangan. Delapan dari sembilan partai politik di parlemen bahkan menggelar konferensi pers untuk menyampaikan penolakannya atas usulan sistem tersebut.
Hanya PDI Perjuangan yang masih bersikukuh dengan sikapnya untuk meloloskan opsi sistem tersebut dalam Pemilu serentak yang akan digelar pada 2024.
Pun demikian, perdebatan ihwal sistem pemilu bukan kali ini saja terjadi. Ketika rancangan undang-undang Pemilu tengah dibahas pada 2017, sistem tersebut juga jadi bahan bakar perdebatan. Waktu itu, ada tiga opsi yang dibahas untuk bisa diterapkan pada pemilu 2019. Pertama, sistem proporsional terbuka, kedua sistem operasional terbuka terbatas, dan ketiga sistem proporsional tertutup.
Sistem proporsional terbuka terbatas, yang diusulkan pemerintah menjadi sorotan karena dinilai menawarkan jalan tengah. Ia merupakan sistem pemilu yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat oleh partai politik.
Yang dimaksud dengan “daftar calon yang terbuka” adalah daftar calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang tercantum dalam surat suara pemilu secara berurutan yang ditetapkan oleh partai politik.
Dalam sistem proporsional terbuka terbatas, masyarakat boleh mencoblos partai dan boleh mencoblos calon. Namun, apabila partai yang lebih banyak dicoblos dibandingkan masing-masing caleg, maka partai yang menentukan caleg terpilih berdasarkan nomor urut. Apabila suara caleg lebih besar dari suara partai, maka caleg tersebut yang menjadi caleg terpilih.
Sistem proporsional tertutup
Lantas apa itu sistem proporsional tertutup, yang kini diperdebatkan?
Mengutip lembar fakta yang diterbitkan Puskapol Fisip Universitas Indonesia, sistem proporsional di Indonesia terbagi menjadi dua yakni sistem proporsional daftar tertutup (closed list PR) dan sistem proporsional daftar terbuka (open list PR). Sistem proporsional sendiri menerjemahkan perolehan suara partai menjadi perolehan kursi di parlemen.
Dalam sistem proporsional daftar tertutup, masyarakat yang mengikuti Pemilu cukup memilih dengan menandai tanda gambar partai. Artinya, pemilih tidak secara langsung memilih para bakal calon tersebut, melainkan partai politik yang akan mengirimkan daftar kandidat bakal calon yang diusung.
Kandidat dengan nomor urut terkecil atau teratas dalam sebuah partai politik berhak menduduki kursi pertama di lembaga dewan perwakilan.
Sementara dalam sistem proporsional terbuka, rakyat memiliki kesempatan untuk memilih nama calon yang dikehendakinya, selain memilih tanda gambar partai.
Kelebihan sistem proporsional tertutup
Sistem proporsional tertutup dinilai akan lebih menguatkan kelembagaan partai, memperkokoh sistem kaderisasi, integritas, kapasitas dan kapabilitas calon legislatif.
Selain itu, sistem ini juga akan mengurangi biaya politik sebab dalam sistem terbuka yang berbasis suara terbanyak, berbasis individu dan feodalisme, ongkosnya sangat mahal dan dinilai cenderung menimbulkan tumbuh kembangnya korupsi.
Sistem proporsional tertutup pun dapat meneguhkan kembali kedudukan partai politik dan memperkuat kewenangan Parpol, sehingga tak hanya menjadi kendaraan calon legislatif untuk sampai di kursi kekuasaan.
Kelemahan proporsional tertutup
Meski demikian, sistem proporsional tertutup juga memiliki kelemahan. Pertama, sistem proporsional tertutup dapat menguatkan sistem oligarki kepartaian, sehingga model ini dianggap tidak demokratis bahkan memunculkan hegemoni parpol besar. Sistem ini pula yang digunakan pada era Orde Baru dan membuat Golkar menjadi partai berkuasa selama lebih dari dua dekade.
Selain itu, sistem pemilu proporsional tertutup juga akan membatasi putra-putri terbaik yang memenuhi syarat mendaftarkan diri dan diusulkan menjadi caleg, yang dapat mendorong tingkat partisipasi pemilih lebih tinggi.
Munculnya potensi politik transaksional, yakni pemilihan calon di nomor urut tertinggi didasarkan pada bayaran yang tinggi kepada partai.
Kurang menjamin terpenuhinya hak demokrasi warga negara, apalagi di tengah iklim berdemokrasi dan tatanan masyarakat yang semakin terbuka ketika pilihan politik warga didasarkan pada pertimbangan yang lebih logis ketimbang primordialitas atau lainnya.