Jakarta, FORTUNE - Pemerintah terus mendorong pertumbuhan industri syariah salah satunya dengan menjadikan Bank Syariah Indonesia (BSI) sebagai bank BUMN dengan menyertakan modal negara melalui saham seri A Dwiwarna.
Terkait hal ini, Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin meminta agar proses penyertaan saham Dwiwarna tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Saya minta dilakukan secara cermat sesuai dengan aturan yang ada. Apa yang sudah direncanakan oleh Kementerian BUMN agar dapat dieksekusi dengan baik, dengan pengawasan dari BPKP,” ungkap Ma'ruf melalui keterangan resminya, pekan lalu.
Ma'ruf juga mengingatkan, agar upaya penyertaan modal negara tersebut tidak mengganggu permodalan dan merugikan posisi Pemegang Saham Pengendali (PSP) BSI yakni Bank Mandiri, BRI dan BNI. “Secara strategi bisnis, opsi ini harus menguntungkan perusahaan dan membawa maslahat bagi negara dan masyarakat,” pintanya.
Jalan cepat Pemerintah, agar BSI jadi bank besar di Asia
Menanggapi hal tersebut, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menyebut keputusan Pemerintah sudah tepat. Menurutnya hal tersebut sejalan dengan niat Pemerintah menjadikan BSI bank terbesar di Asia. Namun demikian, akankah langkah tersebut menjadi jalan pintas Pemerintah untuk mewujudkan niat tersebut?
"Dengan posisinya sebagai BUMN, Pemerintah lebih mudah untuk melakukan berbagai hal dalam mendorong kemajuan BSI. Pemerintah langsung sebagai pemegang saham pengendali BSI. Bukan melalui (induk usaha) Bank Mandiri," kata Piter kepada Fortune Indonesia, Jumat (4/3).
Meski demikian, menurutnya kinerja BSI ke depan bergantung pada komitmen Pemerintah untuk mengembangkan BSI ke pasar global. "Tetapi apakah efektif atau tidak kembali lagi apakah pemerintah memiliki grand strategi utk menjadikan BSI sebagai bank besar? Apakah pemerintah bisa konsisten dengan kebijakan dan strateginya," pungkas Piter.
Permodalan masih jadi kendala perbankan syariah
Terlepas dari hal tersebut, Wakil Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai dukungan bank syariah terhadap berbagai aktivitas ekonomi memang relatif masih rendah. Padahal sokongan industri perbankan untuk menjadikan Indonesia sebagai pemimpin ekonomi syariah tidak kalah penting.
Eko menyatakan, satu kendala utama bank syariah di Indonesia adalah permodalan. Sebagaimana diketahui sektor perbankan adalah industri padat modal, yang artinya dapat bergerak dengan bebas bila memiliki kantong tebal.
“Setelah banyak produsen masuk dalam ekonomi halal, akan lebih mudah mendorong bank-bank menyediakan layanan pembiayaan syariah. Karena pada umumnya bank follow the trade," kata Eko melalui keterangan resminya yang diterima Jumat (4/3).
Dengan demikian,tentunya secara tidak langsung penguatan modal BSI jadi bank BUMN akan mendukung industri syariah nasional.
Sebagai gambaran di Indonesia saat ini terdapat 12 bank syariah dan 20 unit usaha syariah (UUS). Dari 12 bank syariah tersebut, ada enam bank yang memiliki modal inti kurang dari Rp2 triliun. Sedangkan hanya satu bank yang memiliki modal inti lebih dari Rp20 triliun, yakni BSI.
Kinerja BSI tumbuh kuat di 2021
Seperti diketahui, BSI merupakan hasil penggabungan tiga bank syariah milik Himbara. BSI yang baru genap berusia satu tahun pada 1 Februari lalu memang mengemban tugas besar dari pemerintah untuk menopang ekonomi syariah dan industri halal di Tanah Air.
Laba bersih BSI pada 2021 tercatat masih tumbuh 38,42 persen secara year on year (YoY) atau mencapai Rp3,03 triliun. Sementara itu, aset BSI telah mencapai Rp265,28 triliun. Nilai tersebut tumbuh 10,72 persen dari Rp239,58 triliun pada akhir 2020 lalu.