Perkuat Keuangan Syariah, BI Tingkatkan Standardisasi Pasar
BI kembangkan suku bunga acuan berdasar prinsip syariat.
Jakarta, FORTUNE - Demi ‘menajamkan gigi’ industri keuangan syariah, Bank Indonesia mantap melanjutkan pengembangan suku bunga acuan bebas risiko berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Mengapa langkah itu dibutuhkan?
Menurut Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, penguatan sektor keuangan syariat merupakan bentuk antisipasi terhadap dampak penyetopan London Interbank Offered Rate (LIBOR) mulai penghujung 2021.
Dampak Penguatan Standardisasi Keuangan Syariah
Dewi berpendapat, jika standardisasi pasar keuangan syariah ditingkatkan, maka lahirlah dampak berganda (multiplier effect) yang berujung pada tumbuhnya ekonomi riil.
“Peningkatan standardisasi bakal menguatkan manajemen likuiditas sehingga mampu menambah arus investasi, yang akhirnya akan menyokong pertumbuhan ekonomi riil,” jelas Destry melalui keterangan resmi, dikutip Kamis (28/10) dari Antara.
Ketahanan Pasar Keuangan Syariat
Terlebih, lanjut Dewi, sektor keuangan syariah sudah mengindikasikan ketahanan yang lebih tinggi berdasar krisis-krisis keuangan global yang pernah dilewati. Sebab, aktivitas pasar keuangan syariah didasari oleh sektor riil, serta tak melayani transaksi berbasis bunga dan spekulasi.
Untuk itu, pasar keuangan syariah pantas menjadi opsi baru bagi perekonomian dan calon nasabah. “Menawarkan model keuangan yang lebih prospektif dalam lanskap ekonomi global,” ujarnya.
Upaya Mengembangkan Pasar Keuangan Syariah
Sejumlah taktik juga telah dijalankan BI guna mengembangkan pasar keuangan dan ekonomi syariah Tanah Air. Termasuk dengan memperkuat sejumlah instrumen moneter pasar uang syariah, seperti sukuk BI, FX term deposit, fasilitas wakalah dan fasilitas repo untuk mengelola likuiditas. Bukan semata-mata untuk keuntungan, melainkan juga dampak sosial.
Mengenai peluang berkembangnya sektor wisata halal Tanah Air, Deputi Gubernur BI, Rosmaya Hadi mengaku optimistis—walau COVID-19 masih menghantui. Karena menurutnya, sektor tersebut memiliki tiga strategi untuk menyiasati adaptasi kebiasaan baru di tengah pagebluk.
Pertama, pembangunan infrastruktur penyokong, khususnya yang berhubungan dengan teknologi digital. Kedua, peralihan ke model pariwisata berkelanjutan serta mengimbangi pembangunan dengan pemeliharaan lingkungan.
“Ketiga, menguatkan ekosistem wisata ramah muslim, mencakup akomodasi, transportasi, makanan, paket turisme dan keuangan,” ujar Rosmaya.