Ahli: Serangan Siber Masih Jadi Hambatan Ekonomi Digital RI
Indonesia jangan cuma jadi pasar, tapi juga pelaku industri.
Jakarta, FORTUNE – Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperkirakan nilai Ekonomi Digital Indonesia akan mencapai Rp5.800 triliun pada tahun 2030. Namun, Serangan Siber masih menjadi hambatan besar yang masih harus diselesaikan.
Pengamat teknologi informasi, Pratama Persadha, mengatakan serangan siber juga mengancam pertumbuhan ekonomi digital.
Apalagi, Indonesia kekurangan tenaga kerja terampil di bidang teknologi informasi dan komunikasi. “Pemerintah perlu berinvestasi dalam pendidikan dan pelatihan untuk mengembangkan tidak hanya keterampilan digital namun juga meningkatkan kewaspadaan dalam hal keamanan siber,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Jumat (2/8).
Menurutnya, serangan siber dan kebocoran data yang kerap terjadi di Indonesia dalam beberapa waktu belakangan, seringkali diakibatkan oleh kelalaian Sumber Daya Manusia (SDM).
Ia menilai SDM teknologi yang ada saat ini sering mengabaikan protokol keamanan siber. Kelalaian ini menjadi pintu masuk oleh peretas untuk masuk dan mencuri data perusahaan.
Padahal, infrastruktur keamanan digital Indonesia dinilai sudah cukup mumpuni namun deteksi dini dan respons terhadap ancaman siber harus makin diperkuat. “Perusahaan yang terlibat dalam ekonomi digital biasanya sudah mengadopsi sistem keamanan siber yang mutakhir dan canggih, namun selain dari sisi teknologi, sisi SDM juga harus ditingkatkan,” katanya.
Hal ini juga harus dilakukan beriringan dengan mitigasi keamanan siber lainnya seperti perlindungan data dengan sistem yang canggih, pemerataan digitalisasi ke berbagai daerah secara inklusiv, dan regulasi yang mendukung inovasi sambil melindungi konsumen dan data pribadi adalah tantangan yang kompleks.
Jangan hanya jadi pasar
Pratama mengatakan, Indonesia memiliki lebih dari 221 juta pengguna internet dan jadi salah satu negara dengan populasi pengguna teknologi digital terbesar di dunia.
Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi digital tidak boleh hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar, namun juga berperan sebagai pelaku industri digital dunia.
Insiden siber yang sering terjadi di Indonesia, menurut Pratama, bisa mempengaruhi keputusan dari para investor untuk berbisnis di Indonesia.
Maka dari itu, seluruh pihak, baik Pemerintah, swasta, maupun masyarakat, harus bahu-membahu meningkatkan keamanan siber di Indonesia. “Sehingga dengan kondisi keamanan siber yang lebih bagus akan dapat menarik minat banyak investor untuk melakukan bisnisnya di Indonesia,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia adalah salah satu pasar e-commerce terbesar di Asia Tenggara dengan platform seperti Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari, memfasilitasi transaksi jutaan pengguna setiap hari.
“Layanan keuangan digital juga telah tumbuh secara eksponensial dengan banyak startup fintech menyediakan layanan pembayaran, pinjaman, dan investasi. Layanan ride-hailing dan layanan on-demand di Indonesia juga menawarkan berbagai layanan mulai dari transportasi, pengiriman makanan, hingga layanan keuangan,” kata Pratama.
Keyakinan Jokowi
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyampaikan keyakinannya pada potensi ekonomi digital di Indonesia.
Ia menyebut pembayaran digital akan tumbuh 2,5 kali lipat di tahun 2030 Rp12.300 triliun. Hal ini didukung oleh puncak bonus demografi di tahun 2030, yaitu 68 persen berusia produktif, termasuk di dalamnya Gen Y, Gen Z, Gen Alpha.
Selain itu, Presiden juga menyoroti saat ini jumlah ponsel aktif di Indonesia mencapai 354 juta ponsel, yang melebihi jumlah penduduk saat ini yang mencapai 280 juta.
“Artinya, satu orang bisa memiliki ponsel lebih dari satu. Dengan jumlah pengguna internet yang sudah mencapai 185 juta, juga jumlah yang sangat besar sekali. Potensinya besar sekali,” katanya di Festival Ekonomi Keuangan Digital (FEKDI) dan Karya Kreatif Indonesia di JCC Senayan, Kamis (1/8).
Ia menginstruksikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) meningkatkan perlindungan masyarakat di sektor ekonomi digital. “Literasi keuangan kita masih rendah, seingat saya kurang lebih 50 persen masyarakat masih rentan mengalami risiko penipuan dan kejahatan digital. Oleh sebab itu, siapkan sistem perlindungan konsumen,” ujarnya. “Jangan sampai rakyat kecil malah menjadi pihak yang dirugikan.”