Alasan NFT Jack Dorsey Hanya Laku U$280 dari Harga Lelang US$48 Juta
NFT Jack Dorsey dinilai tak memiliki utilitas nilai.
Jakarta, FORTUNE – NFT berupa tweet pertama dari eks Kepala Eksekutif Twitter, Jack Dorsey, sempat populer di pasar aset digital. Adalah Sina Estavi, pengusaha aset kripto asal Iran, yang tahun lalu membeli NFT tersebut seharga US$2,9 juta atau lebih dari Rp41 miliar.
Pekan lalu, Estavi menjual NFT tersebut dalam sebuah lelang dengan harga tawaran US$48 juta atau lebih dari Rp686 miliar. Dia bahkan berjanji bakal menyumbangkan setengahnya untuk amal.
Namun, sayangnya, saat lelang berakhir, hanya ada beberapa tawaran yang masuk dengan harga tertinggi US$280 atau sekitar Rp4 juta. Harga penawaran ini jelas sangat jauh dari nilai yang ditebus oleh Estavi.
Menurut Estavi, ia membayar aset digital ini dengan nominal besar lantaran keunikan serta keterkaitannya dengan perusahaan berharga seperti Twitter.
Meski demikian, nilai NFT yang ia bayar hampir US$3 juta ini disebut sebagai harga gelembung (bubble prices).
“Apa kegunaan NFT itu? Apakah Jack Dorsey mengajak Anda makan malam di Silicon Valley?” kata Mitch Lacsamana, Kepala Pemasaran untuk Grup Perdagangan NFT, seperti dikutip dari Forbes, Selasa (19/4).
Sementara, Blake Moser, seorang kolektor yang memiliki hampir 400 NFT, berpendapat hanya sedikit penawar yang menanggapi serius NFT tersebut. Pasalnya, mereka menyadari bahwa penjualan itu merupakan aksi publisitas demi beroleh eksposur.
Penjualan NFT turun
Saat menebus NFT dimaksud, Estavi turut berpendapat harganya tergolong murah. Dia bahkan meramal “bertahun-tahun kemudian orang akan menyadari nilai sebenarnya dari tweet ini seperti lukisan Mona Lisa.”.
Setahun berselang, prediksi tersebut tidak berjalan mulus, demikian menurut Fortune.com.
Memang sempat ada penawaran terhadap NFT sama dengan harga US$6.200 atau lebih dari Rp88 juta di platform pertukaran OpenSea. Akan tetapi, lagi-lagi, nilainya masih jauh dari pembelian awal.
Lagi pula, Estavi juga tidak berkewajiban untuk menjual NFT-nya. “Batas waktu yang saya tetapkan sudah berakhir, tetapi jika saya mendapatkan tawaran yang bagus, saya mungkin akan menerimanya. Saya mungkin tidak akan pernah menjualnya,” ujar Estavi kepada CoinDesk.
NFT milik Estavi ini menjadi satu contoh kasus adanya kerugian di dunia NFT, menurut laman CNET. Kondisi itu lazim karena karakter pasar aset digital ini memang fluktuatif.
Pun begitu, penjualan NFT juga sudah mulai melambat mulai awal tahun ini. Menurut data dari Nonfungible, awal Maret ini penjualan NFT harian turun 83 persen sejak akhir Januari. Sedangkan, harga rata-rata NFT turun menjadi di bawah US$2.000 atau lebih dari Rp28,6 juta dari harga tertinggi sebelumnya yang US$6.200.
Penjualan NFT di OpenSea bulan lalu, misalnya, hanya US$2,5 miliar, jauh lebih kecil dari catatan Januari yang mencapai US$5 miliar. Sedangkan, menurut data dari cryptoslam, pelacak pasar NFT, Maret tahun ini hanya 635 ribu orang membeli NFT dengan harga rata-rata sekitar US$427. Sebagai perbandingan, pada Januari ada 948 ribu investor yang menebus NFT dengan harga rata-rata US$659.
Tahun lalu, penjualan NFT mencapai US$17,7 miliar atau lebih dari Rp253 triliun. Padahal, tahun sebelumnya hanya US$82 juta. Harga rata-rata NFT juga meningkat menjadi US$807,52 dari sebelumnya US$49,18.