Dari Soal Pandemi Hingga Pendanaan, Ini Penyebab Startup PHK Karyawan
Perdebatan pun muncul soal indikasi bubble burst.
Jakarta, FORTUNE – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah perusahaan rintisan Indonesia dinilai terjadi akibat sejumlah faktor. Sekretaris Jenderal Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo), Eddi Danusaputro, memperkirakan situasi pandemi Covid-19 bisa jadi salah satu penyebab kinerja bisnis startup yang turun.
Menurutnya, dampak pandemi terutama langsung menyasar ke model bisnis perusahaan rintisan. “Pandemi kan sudah jelas-jelas bahwa beberapa startup itu kan jadinya terbuka matanya bahwa dia harus berubah model bisnisnya karena pandemi,” kata Eddi kepada Fortune Indonesia, Jumat (27/5).
Pernyataan Eddi ini menanggapi kabar sejumlah startup yang melakukan efisiensi karyawan. Terhangat, JD.ID mengumumkan pengurangan jumlah karyawan. Perusahaan e-commerce ini memastikan keputusan tersebut akan patuh dan tunduk pada peraturan ketenagakerjaan.
Dikutip dari IDN Times, PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) atau LinkAja mengonfirmasi soal penyesuaian jumlah karyawan, Kamis (26/5). Meski demikian, perusahaan penyedia dompet digital itu tak memerinci jumlah karyawan yang terimbas PHK.
Sedangkan, Zenius melakukan PHK terhadap 200 karyawan. Namun, startup bidang pendidikan ini mengaku akan berkomitmen untuk memberikan kompensasi pada karyawan yang terkena PHK tersebut.
Kondisi startup yang tengah terguncang ini diprediksi pula akibat situasi eksternal. Saat ini, kondisi perekonomian global tengah mengalami penyesuaian. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan demi merespons kenaikan harga atau inflasi.
Kondisi tersebut berdampak terhadap likuiditas yang menyusut. Pada gilirannya, dana kelolaan yang tersedia untuk diinvestasikan juga menurun. “Jadi investor sekarang akan lebih selektif,” ujarnya.
Demi bertahan
Dalam kasus JD.ID, perusahaan menyatakan tengah berimprovisasi dengan cara melakukan peninjauan, penyesuaian, hingga inovasi atas strategi bisnis dan usaha.
“Upaya improvisasi dan pengambilan keputusan dilakukan agar JD.ID dapat terus beradaptasi dan selaras dengan dinamika pasar dan tren industri di Indonesia,” kata Director of General Managament JD.ID, Jenie Simon, dalam keterangan kepada wartawan.
Di sisi lain, Zenius menyebut soal kondisi ekonomi makro yang memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Menurut manajemen, agar bisa beradaptasi dengan kondisi yang berdampak terhadap industri, perlu dilakukan konsolidasi dan sinergi bisnis untuk memastikan keberlanjutan.
Eddi berpendapat wajar sebenarnya perusahaaan melakukan efisiensi untuk mempertahankan keberlanjutan bisnis. Menurutnya, efisiensi ini tentu tak hanya soal penyesuaian karyawan. Di samping itu, startup biasanya melakukan sejumlah langkah seperti pemangkasan biaya pemasaran maupun penundaan dalam peluncuran fitur atau produk baru.
“Istilah di kami efisiensi ini untuk memperpanjang runway mereka. Yang tadinya uang cukup untuk 8 bulan, ya harus dipanjangin jadi cukup untuk 12 bulan,” katanya. “Kami sebagai investor justru apresiasi founder yang berani mengambil langkah-langkah yang tidak gampang ini. Sebab, itu artinya mereka willing to do apa pun supaya perusahannya bisa tetap survive,” katanya.
Indikasi bubble burst
Peneliti Institute for Developments of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, berpendapat gelombang PHK di startup mengindikasikan kondisi bubble burst. Menurutnya, situasi tersebut lantaran pertumbuhan pendanaan ke perusahaan rintisan yang lebih tinggi ketimbang jumlah perusahaan modal ventura.
“Ditambah lagi dengan venture capital yang lagi seret karena kebijakan suku bunga. Venture capital ini sebenarnya menghimpun dana juga. Nah, ketika pendanaan mereka sulit, otomatis mengeluarkannya juga susah. Makanya saya rasa banyak sekali potensi terjadi bubble,” katanya kepada Fortune Indonesia.
Mengutip Investopedia, bubble merupakan istilah yang menggambarkan kondisi harga aset maupun nilai pasar yang melonjak secara cepat. Selama situasi gelembung, aset biasanya diperdagangkan pada harga yang melebihi nilai sesungguhnya dari aset tersebut.
Laporan Cento Ventures menunjukkan nilai investasi startup di Asia Tenggara tahun lalu mencapai US$14,2 miliar atau lebih dari Rp206 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar US$5,6 miliar atau Rp81 triliun merupakan pendanaan ke perusahaan rintisan RI.
Nailul mengatakan kinerja keuangan startup yang buruk bisa menjadi faktor pula. Menurutnya, situasi itu akhirnya memaksa mereka untuk melakukan penyesuaian agar bisnis tetap berlanjut.
Menanggapi ini, Eddi menyatakan bubble bisa saja terjadi saat ini. Sebab, menurutnya valuasi startup saat ini memang tergolong mahal.
Dia lantas mengatakan, kalaupun terjadi penurunan nilai kelak, itu diperkirakan akan mengarah ke valuasi yang lebih masuk akal. “Tidak hanya di startup dan venture capital, di pasar modal juga, komoditas, emas, minyak, dan segala macam lambat akan laun akan mengalami siklus koreksi,” ujarnya.