Shinta VR: Proyek Metaverse Mesti Dibangun Berlandaskan Komunitas
Metaverse perlu menyediakan benefit bagi komunitasnya.
Jakarta, FORTUNE - Metaverse yang belakangan sering dibicarakan kemungkinan membuat publik bertanya-tanya, terutama mengenai cara pengembangannya. Perusahaan teknologi Shinta VR menekankan pembangunan ekosistem virtual itu berlandaskan komunitas.
“Metaverse ini berbeda dengan game online. Kalau game online ada rules yang dibikin sama pengembangnya. Tapi kalau kita ngomongin metaverse apalagi open metaverse yang bikin rules itu justru ke depannya komunitas,” kata pendiri sekaligus Managing Director Shinta VR, Andes Rizky, dalam keterangan kepada wartawan, Rabu (6/7).
Shinta VR menyatakan diri sebagai perusahaan teknologi imersif pertama di Indonesia. Didirikan pada 2016, perusahaan ini memiliki pelbagai lini bisnis seperti MilleaLab, platform pembuatan dan pembelajaran berbasis media 3D dan virtual reality (VR), SpaceCollab, platform metaverse untuk pelatihan, dan Virtual Character System atau sistem avatar.
Andes memandang proyek metaverse mesti dipersiapkan mulai dari fase riset, terutama target komunitas, termasuk dampak yang ingin diberikan kepada komunitas tersebut. Dalam tahapan ini, mesti pula menyiapkan manfaat ataupun utilitas dan peta jalan metaverse tersebut.
Setelah tingkatan tersebut beres, pengembang dapat menggarap pelbagai teknologi yang dibutuhkan untuk ekosistemnya seperti 3D, grafis, optimasi, dan perangkat.
Saat ditanya soal biaya yang dibutuhkan untuk membangun suatu proyek metaverse, Andes tak menjawab secara spesifik. Ia hanya mengungkapkan soal waktu pengembangannya. “Mungkin butuh waktu 2 sampai 2,5 tahun baru benar-benar bisa dari riset sampai jadi,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Andes mengeklaim Shinta VR sudah menyiapkan pelbagai teknologi untuk metaverse pada akhir 2017. Kala itu, menurutnya, belum dikenal istilah metaverse, melainkan dunia imersif. “Dulu, kami sudah membayangkan bahwa immersive world ini akan terjadi 2024 sampai 2025. Ternyata karena Covid-19 dan lain sebagainya akhirnya lebih cepat 2022. Sekarang sudah jadi buzzword ini metaverse,” ujarnya.
Kolaborasi
Meski proyek metaverse nantinya sudah resmi diluncurkan, menurut Andes, tantangannya tak berhenti di situ. Kata dia, pengembang metaverse mesti bisa memenuhi pelbagai kepentingan dari komunitas. “Benefit-benefit orang yang tergabung dalam satu proyek metaverse itu harus diakomodir, let's say, misalkan sampai lima tahun ke depan enam tahun ke depan,” ujarnya.
Shinta VR mengaku telah menangani lebih dari 120 proyek AR/VR di lebih dari 12 negara. Perseroan melayani pelbagai jenis klien, mulai dari pendidikan, pelatihan, dan korporasi.
Millealab saja telah diakses oleh lebih dari 2.500 sekolah, 20.000 pengguna, 7.900 pendidik tersertifikasi, serta telah dijadikan uji coba di 10 provinsi dengan 1.800 peserta didik. Dalam menjalankan misinya, kata Andes, MilleaLab berkolaborasi dengan berbagai pihak seperti, VR Ambassador, lembaga pemerintahan dan mitra strategis seperti Unesco.
Shinta VR belum lama ini menggelar kerja sama dengan RansVerse, proyek dunia virtual dari Rans Entertainment, usaha milik artis Raffi Ahmad. Dalam kemitraan tersebut, Rans Verse akan menggunakan teknologi VR yang dikembangkan Shinta VR.
“Dari segi roadmap (RansVerse) ini termasuk cepat karena memang teknologinya sudah siap. Kami sangat percaya bahwa yang sudah kita lakukan bertahun-tahun ke belakang itu bisa digunakan dan sangat bisa diaplikasikan untuk metaverse yang ada sekarang,” katanya.
Sebelumnya, Chairman Rans Entertainment, Raffi Ahmad, beralasan RansVerse dibuat untuk menjadi bagian dari ekspansi bisnis baru, tentunya untuk dapat senantiasa berinteraksi dengan para penggemar.
“Mungkin fansnya Rans bukan yang ada di Jakarta aja, mungkin di luar Jawa. Mereka ingin berinteraksi sama kita, ketemu kita,” katanya dalam sesi talk show bertajuk The Future of Media di Fortune Summit 2022 yang digelar di The Westin Jakarta, Kamis (19/5).