API: Pangsa Produk Tekstil RI Menyusut, Industri Rawan PHK
Sejumlah sinyal buruk di industri tekstil pun mulai terjadi.
Jakarta, FORTUNE – Pangsa pasar dan permintaan produk tekstil Indonesia disebut terus menurun. Hal tersebut tak lepas dari dampak situasi global, mulai dari pandemi Covid-19, lockdown, hingga konflik Rusia-Ukraina.
Ketua Umum Asosiasi Perstekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, mengatakan, luar negeri kue atau pangsa produk tekstil mengecil. "Otomatis produsen tekstil lain di luar Indonesia berusaha menjual barangnya ke negara lain (yang bukan sumber terjadinya permasalahan global), salah satunya Indonesia yang dibidik,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Senin (31/10).
Para produsen tekstil dunia, seperti Cina, India, maupun Vietnam pun mulai berbondong-bondong masuk ke pasar Indonesia. Hal ini turut berdampak terhadap menurunnya pangsa produk tekstil dalam negeri.
Oleh karena itu, API dan anggotanya berharap pemerintah bisa sesegera mungkin mengambil langkah pengendalian impor agar pangsa pasar produk domestik yang tersisa tidak semakin tergerus produk bisa dimanfaatkan secara optimal oleh para pengusaha.
Daya saing yang kuat
Jemmy optimistis bahwa para pengusaha tekstil nasional mampu bersaing dengan pengusaha tekstil dari luar. Apalagi, Indonesia memiliki peluang dalam menguasai bahan baku kain utama dunia, seperti polyester dan rayon, dari hulu hingga hilir.
“Kalau rayon, bahkan Indonesia sudah siap dari Hutan Tanaman Industrinya (HTI), di negara lain mungkin Pohon Akasianya harus impor,” ucapnya. “Untuk polyester, petrokimianya sudah ada di Indonesia.”
Jemmy mengatakan, situasi ini sebenarnya menguntungkan Indonesia saat impor lebih tinggi daripada ekspor tekstil. Namun, yang perlu diperhatikan para pengusaha adalah tidak menerapkan harga dumping, di mana komoditas tekstil dijual dengan harga yang lebih tinggi di dalam negeri, sementara untuk ekspor dijual dengan harga lebih rendah.
Sinyal buruk yang mulai terjadi
Jemmy mengakui bahwa situasi perdagangan internasional produk tekstil sedang tidak dalam kondisi baik. Situasi global telah membuat permintaan tekstil dari Indonesia menurun cukup signifikan. Bahkan, diperkirakan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) masih akan melemah pada 2023.
“Inflasi di beberapa negara Eropa sampai dua digit, otomatis semua pendapatan mereka ketarik ke kebutuhan primer, seperti makanan. Tekstil adalah kebutuhan kesekian (setelah kebutuhan primer), otomatis mereka menunda pembelian produk tekstil,” ujar Jemmy.
Beberapa perusahaan tekstil di Indonesia terpaksa harus memutuskan hubungan kerja (PHK) karyawannya, akibat kinerja industri tekstil yang turun hingga 30 persen hingga September 2022. Sebagai contoh, di Jawa Barat, sudah ada 64.165 pekerja yang menjadi korban PHK dari 124 perusahaan tekstil yang ada. Bahkan, 18 perusahaan pun terpaksa menutup usahanya.
Dialog tripartit
Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) berharap PHK tidak menjadi pilihan dalam mengatasi tantangan usaha saat ini. Kementeriann terus mengupayakan terjadinya dialog tiga pihak atau tripartit sebagai salah satu upaya mediasi, bila upaya dialog antara perusahaan dan karyawan menemui jalan buntu.
Sekretaris Jenderal Kemnaker, Anwar Sanusi, mengatakan bahwa komunikasi tripartit adalah momentum dimana pemerintah masuk sebagai penengah atau pihak ketiga. "Kami sampaikan PHK merupakan jalan akhir, dalam hal ini Kemenaker melalui Direktorat Jenderal PHI (Pembinaan Hubungan Industrial) kita melakukan mediasi,” katanya dalam keterangan, Minggu (30/10).