Kemenperin: Batik Printing Impor Jadi Ancaman Serius IKM Batik Lokal
Kain batik adalah produk budaya dan identitas Indonesia.
Jakarta, FORTUNE – Persaingan dengan produk Batik printing (cetak) impor dinilai bisa menjadi ancaman serius bagi para pelaku Industri Kecil dan Menengah (IKM) batik di Indonesia.
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin, Reni Yanita, mengatakan bahwa hal ini merupakan tantangan eksternal dari produk impor, yang seharusnya bisa dimitigasi oleh pemerintah.
“Kita (Indonesia) ini mampu, tapi kok pemerintah, dalam hal ini pemda, mungkin belum membudidayakan penggunaan batik (buatan pelaku IKM),” ujarnya dalam konferensi pers Hari Batik Nasional, Kamis (26/9).
Menurutnya, harga batik tulis memang lebih mahal daripada batik cetak hasil impor yang umum ditemukan. Namun, bukan berarti masyarakat tidak punya pilihan batik dengan harga yang lebih terjangkau, karena batik cap bisa jadi pilihan yang lebih murah tanpa harus meninggalkan peran IKM dalam memasarkan produk-produk batik lokal.
Sementara, bila yang dipermasalahkan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi pemesanan dalam jumlah besar, Reni memastikan bahwa IKM batik yang tergabung di banyak sentra batik binaan Kemenperin bisa melakukannya. “Hal ini tidak akan terkendala, karena mereka (pelaku IKM batik) akan berbagi order,” katanya.
Dia berharap, konsumen harus bisa membedakan antara kain batik–cap maupun tulis–dengan kain yang bermotif batik. Kain bermotif batik yang beredar secara luas inilah yang menuurtnya dihasilkan industri besar dan berpotensi bisa matikan IKM. “Ini bukan batik, tapi tekstil motif batik,” ujarnya.
Dia berharap, batik harus dilestarikan sebagai warisan budaya asli Indonesia. Namun, banyak pula negara yang menjadikannya sebagai komoditas perdagangan.
Surplus perdagangan batik
Ekspor kain batik sejauh ini memang lebih besar dibandingkan nilai impor, sebagai bagian dari warisan budaya tak benda dari Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor batik Indonesia pada Januari-Juli 2024 mencapai US$9,45 juta atau sekitar Rp143,20 miliar (kurs Rp15.153,24 per dolar AS), sementara nilai impornya tercatat US$350 ribu atau Rp5,30 miliar.
Meskipun ekspor Januari-Juli 2024 sedikit turun dari US$10,31 juta (Rp156,12 miliar) pada periode sama 2023, tren ekspor cenderung tetap stabil. Neraca perdagangan batik dari 2019 hingga 2023 selalu mencatat surplus, dengan periode puncak terjadi di 2019 sebesar US$26,10 juta (Rp395,23 miliar).
Kinerja perdagangan batik di sisi lain juga menciptakan pasar tenaga kerja yang sangat besar mencapai hampir 200 ribu orang.
“Mereka umumnya menghasilkan kain batik atau produk fesyen dari kain batik,” kata Reni. Bisa dibayangkan jika kita tidak melakukan pelestarian batik ini jadi ada 5.946 industri kecil menengah dan ada 200 ribu tenaga kerja, serta ada 200 sentra yang tidak berlangsung, ataupun pelan-pelan akan kehilangan sumber daya, kehilangan mata pencaharian.”
Hari Batik Nasional
Untuk bisa meningkatkan pelestarian batik asli Indonesia di masyarakat, Kemenperin bersama Yayasan Batik Indonesia (YBI) akan mengadakan rangkaian perayaan Hari Batik Nasional di Mal Kota Kasablanka pada 2-6 Oktober 2024.
Selain bazar produk batik karya sekitar 45 Usaha Kecil dan Menengah (UKM), gelaran ini juga akan menampilkan instalasi imersif, peragaan busana, dialog, hingga pergelaran musik.
YBI memilih batik Gedog Tuban sebagai ikon Hari Batik Nasional 2024, karena merupakan salah satu warisan budaya yang langka di Indonesia. Batik asli Tuban, Jawa Timur ini adalah hasil akulturasi dengan budaya Tiongkok, yang ditampilkan lewat motif burung Phoenix, yang masih diproduksi penduduk asli Tuban dengan teknik tradisional turun-temurun, yakni alat tenun Gedog yang memintal benang katun berbahan dasar tanaman kapas Tuban.