Mayoritas CEO Dukung Kerja Hybrid Demi Produktivitas dan Retensi
Jadwal kerja yang kaku membuat karyawan tidak produktif.
Jakarta, FORTUNE - Pascapandemi perusahaan-perusahaan berbondong-bondong untuk mengembalikan karyawan ke kantor. Padahal tak semua jenis pekerjaan cocok untuk Work from Office (WfO). Di lain sisi, Budaya Kerja WfO yang dipaksakan bisa menguras energi dan membuat stress karena perjalanan jauh, kesehatan yang menurun, dan berbagai faktor lainnya.
Sayangnya, manajemen terkadang menerapkan aturan baku dan "ketuk palu" tanpa mendengarkan masukan karyawan, fleksibilitas jam kerja juga diabaikan. Meskipun demikian, tak semua pemilik bisnis atau CEO berlaku demikian, masih banyak yang mementingkan kebahagiaan karyawan demi mempertahankan talenta terbaik mereka.
Survei terbaru dari International Workplace Group (IWG) mengungkapkan bahwa sembilan dari sepuluh CEO mendukung model kerja hibrida (hybrid working). Budaya kerja hybrid working terbukti meningkatkan produktivitas dan retensi karyawan. Survei yang melibatkan lebih dari 500 CEO di Hong Kong ini menyoroti beberapa manfaat kerja hybrid, termasuk dampak positif pada budaya perusahaan.
80% CEO puas dengan kinerja karyawan yang hybrid working
Temuan utama dari survei IWG menunjukkan bahwa hampir 80 persen CEO melihat peningkatan keterlibatan karyawan dalam pekerjaan semakin nyata. Sementara 75 persen mencatat kolaborasi yang lebih efisien di antara rekan kerja. Peralihan ke kerja hybrid tampaknya mendorong tenaga kerja yang lebih terlibat dan kooperatif.
Dalam inisiatif penelitian terpisah oleh IWG, 74 persen perusahaan memproyeksikan bahwa dalam lima tahun ke depan, mereka akan beroperasi di bawah model hybrid. Hal ini menekankan penerimaan dan integrasi yang semakin meningkat dari pengaturan kerja fleksibel sebagai praktik bisnis standar.
IWG menekankan bahwa kerja fleksibel telah menjadi faktor kritis bagi banyak pemberi kerja. Mendukung hal ini, sebuah studi oleh Morgan McKinley yang mensurvei 3.500 karyawan menemukan bahwa 56 persen dari mereka yang bekerja penuh waktu di tempat sedang aktif mencari peluang kerja baru dalam enam bulan ke depan.
Sebaliknya, angka ini turun menjadi 41 persen untuk pekerja hybrid dan 44 persen untuk karyawan yang sepenuhnya bekerja dari jarak jauh. Data ini menunjukkan bahwa jadwal kerja yang kaku dapat menyebabkan tingkat pergantian karyawan yang lebih tinggi.
65% CEO sadar WfO berakibat hilangnya talenta terbaik
Survei IWG juga mengungkapkan bahwa hampir tiga perempat (74 persen) CEO tidak memprioritaskan karyawan kembali ke kantor sepenuhnya. Mereka menyadari bahwa mandat semacam itu dapat berdampak negatif pada retensi karyawan. Selain itu, 65% persenCEO menyatakan kekhawatiran bahwa memaksakan kehadiran di kantor setiap hari dapat mengakibatkan hilangnya bakat berharga.
Menanggapi hasil temuann ini, para pemimpin bisnis semakin banyak berinvestasi dalam masa depan kerja hybrid. Berbagai strategi dilakukan oleh 43 persen CEO yang menunjukkan hal ini sebagai fokus utama mereka. Perusahaan mereka kemudian meningkatkan dukungan peralatan dan fasilitas kerja hybrid sebagai prioritas utama. Investasi ini bertujuan untuk mendukung dan mengoptimalkan lingkungan kerja hybrid, memastikan bahwa karyawan memiliki alat dan sumber daya yang dibutuhkan untuk bekerja secara efektif.
Tren menuju kerja hybrid mencerminkan pergeseran yang lebih luas dalam dinamika tempat kerja, didorong oleh kebutuhan akan fleksibilitas dan manfaat yang dibawanya bagi pemberi kerja dan karyawan. Seiring perusahaan terus beradaptasi, model hybrid kemungkinan akan menjadi landasan operasi bisnis modern, serta mampu mendorong tenaga kerja yang lebih dinamis dan tangguh.