Jakarta, FORTUNE - Perkembangan sektor dan usaha, dari ekonomi hijau hingga digital, memunculkan jenis-jenis pekerjaan baru yang kian hari makin populer. Namun, keberadaan talent pool yang tidak sebanding dengan kebutuhan membuat perusahaan harus berebut hati tenaga ahli. Bisnis yang telah mapan pun harus beradaptasi untuk mempertahankan eksistensi.
Bagi brand sebesar L’Oréal pun kondisi itu tidak terelakkan. Hadir sejak 1979 di Indonesia, brand asal Prancis itu terus berbenah untuk menyongsong era digital. Jika dulu perusahaan menjalankan bisnis luring secara penuh, kini 70 persennya ada di ranah digital.
Tantangannya tidak mudah. Selain harus menyediakan infrastruktur, talenta pendukung pun harus disiapkan. Dan untuk menjalankan operasional di seluruh Nusantara, talenta pendukung itu lazimnya tidak terpusat di Ibu Kota. Maka, saat masih memimpin L’Oréal Indonesia, Umesh Phadke selalu memperhatikan perkembangan talenta dalam timnya di daerah.
Pada Juli 2022 misalnya, ia bertemu dengan Sonia (23), salah satu karyawan di gudang distributor L’Oréal di Balikpapan, Kalimantan Timur. Dia lahir, tumbuh, menempuh pendidikan, dan bekerja di sana. Ketika kepala gudang absen, Sonia mendampingi Umesh dan tim berkeliling gudang dan mempresentasikan sistem operasionalnya dengan lancar. Seluruh pertanyaan Umesh dan tim pun dijawab dengan lugas. “Kami kagum, talenta di Indonesia tak terbatas di Jabodetabek saja, tapi di mana-mana,” ujarnya dalam wawancara dengan Fortune Indonesia, awal Agustus 2022.
Umesh yang kini menjadi Chief Transformation Officer, L’Oréal SAPMENA (South Asia Pacific, Middle East and North Africa) Zone pun berpesan pada penerusnya, Junaid Murtaza untuk terus mencari talenta potensial seperti Sonia. Talenta-talenta muda itu kemudian harus diberi peluang untuk berkembang. Dari tahapan management trainee harus langsung fokus, misalnya talenta untuk e-commerce specialist dan sebagainya. Jumlah talenta yang direkrut dari level junior ini sudah tumbuh tiga kali lipat selama enam tahun terakhir.
Dia memerinci, enam tahun lalu, jumlah highly effective people (HEP) di L’Oréal Indonesia berlipat ganda dari 32 persen (2016) menjadi 65 persen tahun ini. HEP sendiri adalah para karyawan yang highly engaged dan highly enabled. Selain itu, jumlah pekerja yang pindah dari L’Oréal berkurang separuhnya dari enam tahun lalu—diklaim level turnover L’Oréal diklaim di bawah rata-rata pasar. Beberapa talenta dalam negeri direkrut dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, hingga Prasetya Mulya.
Jika pengembangan bibit-bibit talenta muda berjalan dengan baik, perusahaan tidak perlu lagi mengakuisisi talenta dari luar secara besar-besaran. Dari sisi pekerja, mereka akan lebih termotivasi karena jenjang karier yang jelas. Hal-hal baru terus dipelajari.
Menghadapi tantangan di sektor baru
Bagi perusahaan rintisan tantangan mengular lebih panjang. Bagaimana menarik calon karyawan jika—jangankan perusahaannya—sektor usahanya pun terbilang baru dan belum jamak dikenal khalayak. Hal itu sempat dialami oleh PT Xurya Daya Indonesia (Xurya)–startup pengembang proyek tenaga surya (solar developer) saat mulai berdiri pada 2018.
Head of People Development Xurya, Fabiola A.S. cukup kelimpungan mencari talenta yang mengerti soal seluk-beluk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). “Pada waktu Xurya mulai berdiri itu agak challenging, tapi sepanjang perjalanan sampai sekarang pun dibilang mudah juga enggak,” katanya kepada Fortune Indonesia.
Selain Xurya, beberapa startup turut menggarap potensi tenaga surya, di antaranya Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Tak menutup kemungkinan akan ada startup baru yang memperketat talent-war di ranah ini. Apalagi pemerintah tengah mempersiapkan transisi energi menjadi ramah lingkungan sejalan penandatanganan Perjanjian Paris.
Target yang dipasang pemerintah dalam bauran energi terbarukan mencapai 23 persen pada 2025, sedangkan yang ada sekarang masih di bawah 1 persen. Artinya untuk mencapai target tersebut diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni di bidang energi baru dan terbarukan. Riset Global Green Growth Institute (GGGI) mengungkap, kebutuhan green jobs atau pekerjaan ramah lingkungan di Indonesia pada 2030 mencapai 4,4 juta orang. Dan salah satu sektor yang dibidik adalah energi hijau.
Namun, mencari para ahli di sektor ini khususnya departemen engineering menjadi pekerjaan rumah paling rumit. Butuh orang dengan kemampuan spesifik khusus untuk pengembangan energi surya, misalnya untuk mengisi posisi photovoltaic engineer (PV engineer). “Dan itu adalah salah satu posisi yang tercipta ketika green jobs mulai digadang-gadang di mana-mana,” katanya.
Ia menyaring puluhan bahkan sampai ratusan, khususnya untuk departemen engineering yang bersinggungan langsung dengan panel surya ini. Para leader umumnya dipilih dari alumni kampus luar negeri yang mengambil jurusan yang terkait dengan pengembangan energi baru dan terbarukan. Lulusan Electrical Engineering, Mechanical Engineering, Physics Engineering, Physics Sustainability Energy, Petroleum Engineering, dan Marine Engineering menjadi penopang utama. Selain itu diisi, lulusan Business Administration dan Business Management.
VP Marketing Xurya, George Hadi Santoso, menambahkan seiring waktu minat untuk bekerja di ranah ini juga meningkat, meskipun jumlah talenta dinilainya belum setara kebutuhan. “Mungkin di program master ada jurusannya, tapi di jenjang sarjana enggak ada. SMK mulai ada, beberapa SMK yang mengajarkan renewable energy, khususnya solar energy. Secara skill, memang belum seperti yang kita harapkan, kalau minat memang sangat meningkat,” katanya.
Keberadaan talenta di sektor blockchain juga menarik untuk dikulik, sebab industri ini terus bergeliat di Indonesia. Laporan LinkedIn dan bursa kripto OKX bertajuk “2022 Global Blockchain Talent Report” menyebutkan, pekerja yang ada di industri blockchain secara global telah meningkat 76 persen dibanding tahun lalu.
Dalam laporan yang sama, Indonesia menduduki peringkat 8 negara teratas dengan pertumbuhan pekerja blockchain sebesar 43 persen. Sementara, India menempati peringkat pertama, dengan tingkat pertumbuhan 122 persen.
Melesatnya jumlah pekerja di industri blockchain ini didorong oleh banyak faktor. Di antaranya hadirnya metaverse, NFT, GameFi, dan Web3 menjadi kunci pertumbuhan sektor blockchain secara global.
Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (ASPAKRINDO), Teguh Kurniawan Harmanda, mengamini hasil riset yang dikeluarkan oleh LinkedIn dan OKX. Menurutnya, meski industri kripto tengah lesu, pertumbuhan jumlah pekerja di industri aset digital dan blockchain tetap tumbuh, termasuk di Indonesia.
Pria yang akrab disapa Manda ini menyatakan, blockchain adalah salah satu tren teknologi terpanas di dunia saat ini. Namun, menemukan keterampilan yang diperlukan untuk menguasai tools dan regulasi baru dalam teknologi blockchain adalah tugas yang sulit. Untuk menyiasati kekurangan pekerja di industri ini, banyak perusahaan yang mulai menjalankan program internship khusus dan bootcamp untuk menjaring talenta-talenta terbaik.
"Pekerjaan blockchain developer sangat diminati terlepas dari perubahan masa depan kripto," katanya.
Mencabut akar kelangkaan talenta digital
Chief People Officer Tiket.com, Dudi Arisandi, membenarkan kondisi kelangkaan talenta digital. Talent war tidak hanya terbatas pada tech startup atau ranah e-commerce. Bahkan di industri yang tadinya ‘konvensional’, seperti perbankan. “Mereka mulai masuk ke digital banking, mengambil talent di tempat saya atau tempat lain juga,” kata Dudi kepada Fortune Indonesia.
Perebutan talenta membuat perusahaan-perusahaan berani membayar mahal pekerja dengan keterampilan tertentu yang dibutuhkan. “Di satu sisi talent war bagus, harga besok naik, talenta bidang ini mahal. Artinya mereka yang punya kompetensi lebih pasti dihargai lebih dengan kebutuhan market yang begitu tinggi,” tambahnya.
Posisi software engineer, front end engineer, iOS engineer, android engineer, atau data scientist masih jadi rebutan. Lulusan teknologi banyak, tapi apakah mereka bisa jadi bagian dari bekerja di perusahaan teknologi? Ini jadi pertanyaan besar.
Diakui oleh Dudi, ada banyak talenta potensial yang memiliki segudang keterampilan di luar sana. Namun, belum tentu mereka sesuai dengan budaya kerja perusahaan.
Untuk mendapat talenta yang tepat, perusahaan perlu menciptakan ekosistem untuk belajar sebagai upaya meningkatkan keterampilan. Data PricewaterhouseCoopers (PwC) 2020 mengungkap, 70 persen CEO menyatakan kesulitan menemukan talenta digital yang sesuai kualifikasi.
Berbagai langkah kemudian diambil untuk menjawab kebutuhan organisasi. Tiket.com misalnya, membuat Individual Development program (IDB). Promosi diprioritaskan dari internal perusahaan. Sistem penilaian dua kali setahun telah berjalan, termasuk First Time Manager Program untuk staf yang mulai memimpin tim. Namun, untuk top level management, perusahaan tidak menutup peluang akuisisi talenta dari perusahaan lain.
Menurut Dudi, promotion rate di Tiket.com mencapai 12 persen. Artinya, satu dari 10 karyawan Tiket.com telah dipromosikan, dan itu berlaku untuk semua tingkat. “Untuk mereka yang di rating top talent kita perhatikan, sebab kalau kehilangan top talent ruginya seperti kehilangan 10 talent biasa,” kata Dudi.
Langkah mendidik dari dalam atau reskilling juga dipilih Tokopedia untuk menghasilkan bakat-bakat hebat. AVP of People Partner & Talent Development, Libertha Hutapea menjelaskan, Tokopedia Academy rutin mendatangkan para praktisi dan pemimpin teknologi untuk berbagi ilmu dengan karyawan.