Pengusaha Mal Cemas, Pembatasan Impor Bikin Peritel Batal Ekspansi
Okupansi mal diperkirakan stagnan dari target awal 90%.
Jakarta, FORTUNE - Pengusaha Ritel dan Mal mengungkapan kekhawatirannya atas pengetatan peraturan impor produk legal melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 36 tahun 2023 tentang Kebijakan dan pengaturan Impor yang diberlakukan 10 Maret 2024. Kebijakan ini disinyalir dapat mengganggu produktivitas hingga rencana ekspansi peritel, lantaran lebih sulit memperoleh barang serta potensi masuknya produk-produk impor melalui jalur ilegal.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja mengatakan semula pengusaha berharap, 2024 tingkat keterisian mal atau okupansi akan jauh lebih baik seiring meredanya pandemi.
APPBI semula menargetkan tingkat okupansi mal mencapai 90 persen tahun ini, atau hampir sama dengan masa sebelum pandemi. Namun, target itu kemudian direvisi lantaran ada kebijakan pengaturan Impor Ilegal yang menyebabkan produk impor yang masuk ke dalam negeri akan diperketat.
Padahal, tahun ini akan ada sejumlah mal baru dibuka. Namun, yang membuatnya khawatir ada tenan peritel merek global yang seharusnya membuka toko dan mengisi gerai, menunda ekspansi karena barangnya akan tertahan kebijakan pengetatan impor.
“Bicara target okupansi sebelumnya kami optimistis bisa mencapai 90 persen, tapi kami merevisi akan stagnan atau tetap di 80 persen tahun ini,” katanya dalam paparannya di Jakarta, Kamis (19/1).
Pembatasan impor menurutnya tidak hanya menyebabkan kelangkaan barang, harga jualnya pun dapat menjadi mahal, sehingga memberikan efek domino, membebani konsumen dan akhirnya industri ritel pun terpukul.
Produk thrift ancam industri
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey berpendapat senada. Menurutnya, niat baik pemerintah mengembangkan dan melindungi produk lokal dapat dimaklumi.
Namun produk impor resmi yang selama ini telah berjalan dan telah memenuhi segala aspek legal dan ketentuan dengan membayar Pajak juga tidak boleh dikesampingkan.
“Realita yang terjadi bahwa produk impor ilegal yang masuk dengan tidak membayar bea masuk dan pajak justru semakin semarak dijual dan tersedia di berbagai kota di Indonesia." tambah Roy.
Adapun, jenis Impor produk Ilegal (pangan dan non pangan) yang semakin marak beredar dan djiual di ataranya produk thrifting (produk bekas yang di impor dari berbagai negara), produk kedaluwarsa atau retur serta produk berlabel palsu atau tempelan (fake brand).
“Jasa titip (jastip) pembelian produk impor dari luar negeri sebenarnya termasuk kategori impor produk illegal (black market) karena seolah-olah membawa barang kepunyaan sendiri agar terhindar dari pajak dan bea masuk bahkan telah menjadi profesi baru,” katanya.
Keseluruhan praktek impor produk ilegal tersebut, bisa masuk dengan bebas melalui bongkar muat barang di pesisir atau di tengah laut, masuk melalui pelabuhan yang hanya dapat diakses oleh pihak swasta sebagai pemilik nya maupun 'pelabuhan tikus' yang berada di berbagai pulau di Indonesia.
Potensi kerugian
Dengan fenomena ini, Aprindo pun mengkritisi pemerintah karena belum berhasil secara signifikan mengawasi dan mengatasi masuknya produk impor ilegal yang diprediksi dikuasai dan dikontrol oleh pihak tertentu.
Berdasarkan laporan yang ia terima saat ini, para peritel mengeluh kunjungan konsumen menurun sejak pertengahan 2023 bersamaan dengan marak dibuka nya toko 'thrifting' impor produk ilegal dan bekas.
Hal ini disebut menggerus 4-5 persen atas penjualan ritel dalam semester ke II 2023. “Sangat disayangkan ketika kami yang menjual produk legal dan resmi sesuai regulasi yang berlaku malah harus tergerus, sejauh mana pemerintah memahami dan menyadari akan hal tersebut kepada kami pelaku usaha ritel yang berkontribusi bagi ekonomi dan tenaga kerja Indonesia,” katanya.