JLL: Asia Tenggara dan India Jadi Pilihan Manufaktur Selain Cina
Pemerintah negara tujuan tawarkan kemudahan untuk masuk.
Fortune Recap
- JLL memproyeksikan akselerasi pergeseran rantai pasokan ke Asia Tenggara dan India dalam satu dekade ke depan.
- Pemerintah negara tujuan berusaha mendukung industri manufaktur dengan kebijakan kesediaan lahan dan akses permodalan.
- Perusahaan perlu fleksibel dalam pemilihan lahan dan opsi pendanaan untuk merespons pergeseran rantai pasokan dengan cepat.
Jakarta, FORTUNE - Jones Lang LaSalle (JLL) memproyeksikan bahwa dalam satu dekade ke depan akan terjadi akselerasi pergeseran dalam rantai pasokan. Nantinya, diversifikasi manufaktur dan produksi akan membidik beberapa lokasi di Asia Tenggara dan India. Penambahan basis manufaktur di luar Cina terjadi untuk mencegah gangguan mata rantai penawaran karena bergantung dengan satu negara.
Head of Manufacturing Strategy, Asia Pacific, JLL, Michael Ignatiadis, mengatakan pemerintah yang menjadi negara tujuan pun berusaha menangkap peluang tersebut dengan menerapkan kebijakan yang lebih mendukung Industri Manufaktur, seperti memprioritaskan ketersediaan lahan dan mempermudah akses permodalan.
“Kami melihat bahwa kawasan Asia Tenggara dan India dapat saling melengkapi dengan kekuatan produksi yang sudah ada dari Cina. Namun, menurut kami, agar perusahaan dapat merespons pergeseran rantai pasokan ini dengan cepat, mereka perlu mengadopsi pola pikir yang fleksibel terhadap pemilihan lahan dan opsi pendanaan,” kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa (4/6).
Dalam beberapa tahun terakhir, berdasarkan pantauan JLL, sejumlah perusahaan sudah mulai menjajaki relokasi manufaktur mereka keluar dari Cina.
Menurut Michael, diversifikasi rantai pasok ini adalah langkah yang normal bagi perusahaan bergerak dalam bidang manufaktur dengan skala ekonomi lebih besar.
“Namun, perusahaan harus fleksibel saat mempertimbangkan lokasi dan opsi pembiayaan untuk memanfaatkan volatilitas rantai pasokan,” ujarnya.
Indonesia tawarkan insentif bagi segmen manufaktur
Sementara itu, Country Head dan Head of Logistics and Industrial, JLL Indonesia, Farazia Basarah, mengatakan Indonesia saat ini telah menjadi hub untuk manufaktur besar. Hal ini didorong dengan populasi yang besar dan banyaknya jumlah tenaga kerja, biaya yang menarik, dan berbagai insentif yang ditawarkan, yang menjadikannya tujuan investasi manufaktur menarik.
“Lokasi strategis kami dan berlimpahnya sumber daya alam menjadikan Indonesia destinasi utama bagi manufacturer yang ingin mendiversifikasi dan memperkuat rantai pasok mereka,” ujarnya.
Pada 2023, Indonesia mengalami peningkatan penanaman modal asing langsung dalam bidang manufaktur, dengan peningkatan US$4 miliar sehingga mencapai total US$28,7 miliar.
Indonesia juga mengalami pertumbuhan yang signifikan untuk industri-industri utama seperti elektronik dan perlengkapan, bahan kimia dan farmasi, serta kendaraan bermotor dan transportasi lain.
Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan untuk mendukung dan menarik investasi dalam bidang manufaktur. Beberapa inisiatif utama antara lain insentif untuk kendaraan bermotor tenaga baterai, insentif pajak investasi melalui Kawasan Ekonomi Khusus, dan strategi “Making Indonesia 4.0” yang menargetkan pengintegrasian teknologi manufaktur mutakhir.
Selain itu, Indonesia membolehkan 100 persen kepemilikan asing dalam sektor-sektor utama seperti logistik dan e-commerce. Indonesia juga berkomitmen terhadap target net-zero emisi karbon pada 2050 melalui Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050.
Kebijakan-kebijakan tersebut menciptakan lingkungan yang mendukung investasi manufaktur, sehingga menempatkan Indonesia sebagai destinasi yang memiliki daya saing bagi manufaktur dunia.
Meningkatnya biaya di Cina dalam beberapa dekade terakhir, kata Farazia, telah mempercepat peralihan menuju diversifikasi ini. Permintaan yang lebih besar terhadap lahan industri, ditambah dengan upah dan biaya bahan baku yang meningkat, juga menjadikan harga tanah lebih mahal di Cina.
“Ini membuat Indonesia menjadi alternatif yang lebih cost-effective,” ujarnya.
Terlebih lagi, faktor-faktor seperti tenaga kerja ahli, infrastruktur, regulasi lingkungan, kedekatan dengan pemasok dan pelanggan, serta stabilitas politik berkontribusi besar untuk kesuksesan dan keberlanjutan pabrik dalam jangka panjang.