JP Morgan Ingatkan AS: Cina Hampir Memonopoli Mineral Penting
Cina kini penambang mineral penting terbesar di dunia.
Fortune Recap
- JPMorgan memperingatkan AS tentang dominasi Cina dalam penambangan bahan mentah penting untuk semikonduktor dan teknologi.
- Presiden Biden memberlakukan tarif bea masuk baru terhadap produk Cina senilai US$18 miliar, meningkatkan ketegangan perang dagang.
- Pada 2022, Cina menguasai 68% produksi mineral tanah jarang dan 70% produksi grafit global, menimbulkan kekhawatiran ketergantungan industri AS.
Jakarta, FORTUNE – JPMorgan mewanti-wanti Amerika Serikat (AS) bahwa Cina “hampir memonopoli” penambangan banyak bahan mentah penting bagi produksi semikonduktor dan teknologi lainnya.
Sebelumnya, Presiden AS, Joe Biden, menunjukkan kekhawatirannya dalam kompetisi industri dengan Cina menyusul pemberlakuan tarif bea masuk terbaru untuk produk sel surya, kendaraan listrik, baterai, baja, aluminium, hingga peralatan medis.
“Pengumuman tarif terbaru pemerintahan Biden terhadap impor Cina senilai US$18 miliar telah meningkatkan perdebatan mengenai apakah dominasi Cina dalam rantai pasokan mineral penting akan muncul sebagai medan pertempuran terbaru untuk persaingan strategis AS–Cina,” demikian keterangan Direktur Eksekutif urusan Penelitian Strategis JPMorgan, Amy Ho, dan Kepala Penelitian Global, Joyce Chang, dalam laporannya yang dikutip dari Fortune, Selasa (11/6).
Pada 2022, Cina merupakan produsen terbesar mineral tanah jarang yang menguasai 68 persen dari total produksi global. Hasil tambang itu biasanya berguna untuk membuat, di antaranya, baterai dan magnet.
Bahkan, Cina telah menguasai 70 produksi grafit global yang biasa digunakan untuk pelumas, motor listrik, dan reaktor nuklir.
Dalam laporan JPMorgan, Cina memang mendominasi dalam kemampuan mengolah barang hasil tambang.
Pada 2022, Cina telah memproses 100 persen pasokan grafit dunia, 90 persen logam tanah jarang, dan 74 persen kobalt, yang digunakan untuk membuat baterai kendaraan listrik.
“Meningkatnya ketergantungan pada mineral penting, yang merupakan bahan baku utama bagi semikonduktor, kendaraan listrik, senjata militer, dll, telah menimbulkan kekhawatiran bahwa Cina dapat menggunakan dominasinya dalam rantai pasok ini untuk membalas kebijakan industri AS,” kata Amy.
Tensi perang dagang AS-Cina memanas
Sebetulnya, Perang Dagang antara AS dan Cina dimulai pada 2018 ketika Presiden Donald Trump mengenakan tarif pada sejumlah barang dan komoditas Cina, termasuk panel surya dan baja, dengan alasan pencurian kekayaan intelektual (IP) dan perdagangan tidak adil di negara tersebut.
Sejak kebijakan itu diberlakukan, ketegangan antara dua negara adidaya itu semakin meningkat, dengan pertikaian besar mengenai IP semikonduktor dan manufaktur menjadi pusat perhatian di tengah booming kecerdasan buatan (AI).
Ada 12 mineral penting yang 100 persennya impor, dan telah diidentifikasi oleh Survei Geologi AS, dan berdampak terhadap perekonomian Amerika Serikat. Mulai dari arsenik, cesium, fluorspar, galium, grafit, mangan, indium, niobium, rubidium, skandium, tantalum, dan itrium.
Dengan memanasnya perang dagang, mineral dapat menjadi titik lemah AS. Dalam skenario terburuk, kata JPMorgan, ketika Cina meningkatkan pembatasan ekspor mineral-mineral utama atau menerapkan larangan penuh, sektor elektronik, penyulingan minyak, pertahanan, dan kendaraan listrik akan sangat berisiko.
AS, karenanya, perlu mencari pemasok mineral penting alternatif.
Kendati demikian, diprediksi belum sampai terjadi aksi serius.
“Ada kekhawatiran yang berkembang bahwa Cina akan mempersenjatai posisinya, namun kami memperkirakan respons Cina akan tetap proporsional dan terbatas berdasarkan tindakan di masa lalu,” ujarnya.
Rekomendasi JPMorgan untuk Amerika Serikat
JPMorgan memberikan beberapa rekomendasi agar AS dapat menstabilkan pasokan mineral penting untuk melindungi industri pertahanan, mendukung transisi kendaraan listrik, dan mencegah dampak ekonomi dari potensi perang dagang komoditas.
Pertama, penciptaan kapasitas pertambangan baru di AS bukanlah pilihan untuk memperbaiki ketergantungan pada impor mineral. Operasi penambangan baru membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dimulai, memiliki risiko lingkungan, dan persetujuan peraturan di AS sering kali tidak pasti.
Menurut Badan Energi Internasional, dibutuhkan rata-rata 16,5 tahun bagi sebuah proyek pertambangan untuk beralih dari penemuan ke produksi di AS. Untuk mendapatkan izin pertambangan saja membutuhkan waktu rata-rata 7 hingga 10 tahun.
Daripada melakukan operasi penambangan baru, JPMorgan merekomendasikan diversifikasi sumber mineral, penerapan teknologi penambangan mineral baru, dan penimbunan strategis mineral-mineral utama.
Mereka memperkirakan bahwa inovasi teknologi dan daur ulang dapat mengurangi permintaan sebesar 20 persen hingga 40 persen, sementara substitusi material dapat mengurangi tekanan pada pasokan dan mengurangi biaya selama beberapa dekade mendatang.
Selain itu, menyimpan beberapa mineral penting perlu dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan AS, agar mempunyai penyangga apabila terjadi gangguan rantai pasokan secara tiba-tiba.
“Ada lebih banyak peluang untuk mendiversifikasi pemasok mineral penting dibandingkan minyak, dan negara-negara yang sedang dalam proses memperluas kemampuan pertambangan dan proses mereka termasuk sekutu seperti Kanada, Australia, UE, dan Jepang,” ujarnya.