Skema Power Wheeling Disebut Dapat Dongkrak Bauran EBT
Power wheeling kunci untuk meningkatkan kontribusi EBT.
Fortune Recap
- Wakil Ketua Komisi XII DPR menegaskan pentingnya power wheeling untuk meningkatkan kontribusi EBT dalam bauran energi nasional.
- PLN dianggap enggan menerima perubahan ini karena khawatir kehilangan monopoli, namun jika diterapkan kontribusi EBT dapat meningkat signifikan.
Jakarta, FORTUNE - Skema Power Wheeling, mekanisme yang memungkinkan pihak swasta menggunakan jaringan listrik milik PLN untuk menyalurkan energi baru terbarukan (EBT) langsung kepada pelanggan, menjadi perdebatan panas dalam upaya mendorong bauran EBT di Indonesia.
Meski dinilai dapat mempercepat transisi energi, penerapan skema ini menghadapi tantangan dari berbagai pihak, termasuk PLN.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi XII DPR, Sugeng Suparwoto, dalam diskusi bertajuk "Menggali Sektor Kunci Investasi Berkelanjutan di Indonesia".
Dia menegaskan bahwa power wheeling adalah kunci untuk meningkatkan kontribusi EBT dalam bauran energi nasional, sebab “tanpa power wheeling," katanya, "hampir mustahil energi terbarukan bisa naik."
Sugeng menjelaskan saat ini PLN memonopoli distribusi listrik. Produsen listrik swasta alias independent power producer (IPP) harus menjual listriknya ke PLN, yang kemudian menyalurkan ke pelanggan. Harga listrik PLN, yang berbasis pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara bersubsidi, membuat energi terbarukan sulit bersaing.
“Seharusnya dengan power wheeling, pihak swasta yang membutuhkan energi hijau bisa langsung membeli yang memproduksi energi terbarukan. PLN hanya berperan sebagai penyedia jaringan atau toll fee,” kata Sugeng.
Meski konsep ini diterapkan di berbagai negara, PLN dianggap masih enggan menerima perubahan ini. Sugeng menilai PLN khawatir kehilangan monopoli, sehingga berpotensi menghambat diversifikasi energi.
“PLN terus mempertahankan monopoli dan menggunakan alasan ekonomi untuk menolak power wheeling. Ini harus diubah,” katanya.
Jika power wheeling diterapkan, Sugeng optimistis bauran energi terbarukan dapat meningkat signifikan. Saat ini, kontribusi EBT dalam bauran energi baru mencapai 14 persen, jauh dari target 23 persen pada 2025.
“Dengan skema ini, pemain EBT bisa langsung terhubung dengan konsumen yang membutuhkan. Ini membuka peluang besar untuk mencapai target energi bersih yang telah dicanangkan,” ujarnya.
Perlu adanya keputusan politik yang kuat
Sementara itu, Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia, Bobby Gafur Umar, juga menyoroti hal serupa. Menurutnya, monopoli PLN menjadi penghambat utama pengembangan energi terbarukan.
“Kami sudah diskusi panjang dengan pemerintah dan masyarakat energi terbarukan, tapi selalu ada veto terakhir dari PLN,” ujar Bobby.
Bobby mengatakan mekanisme ini mirip dengan open access pada industri gas, yang terbukti mendorong kompetisi dan investasi pada sektor tersebut.
“Dulu, semua transmisi gas dipegang PGN, sehingga pemain lain tidak bisa berkembang. Begitu ada open access, industri gas tumbuh pesat,” katanya.
Kemudian, pengamat energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menyoroti ketidaksesuaian antara kampanye besar-besaran mengenai EBT dan implementasi kebijakan di lapangan. Ia menegaskan bahwa tanpa penyelesaian skema power wheeling, posisi PLN sebagai monopoli dan monopsoni akan terus menghambat perkembangan energi terbarukan.
“Tugas ganda PLN sebagai monopsoni dan monopoli membuat EBT hanya menjadi cita-cita,” ujarnya.
Komaidi juga mengingatkan bahwa kegagalan pemerintah dalam menjamin implementasi skema ini berpotensi membuat investasi besar pada sektor EBT mengalir ke negara lain.
“Ini menyangkut kepentingan miliaran dolar AS yang bisa masuk ke Indonesia. Kalau tidak ada jaminan kepastian, investor akan lari ke tempat lain,” ujarnya.
Namun, dengan perlawanan dari PLN dan kelompok kepentingan lainnya, penerapan skema power wheeling tampaknya masih membutuhkan waktu dan dukungan politik yang kuat.